Keluarga | OurVoice

“Di Perancis, gay bebas memilih pasangan dan menunjukkan ke publik. Itu yang tak saya lihat di sini,” ujar Rhena, kalem. Perempuan bertubuh jangkung itu magang di GN, setelah sebelumnya dari Paris, Singapore, Indonesia, lanjut Malaysia. Sembari menuntaskan program Cultur Study, ia dan suaminya mengajar Bahasa Perancis di CCCL, Surabaya. “Orangtua di sana mendukung penuh, sebab ini urusan pribadi seseorang,” imbuhnya.

Saya menukas,”Kehidupan di Perancis adalah mimpi kami di sini.” Ia tersenyum mahfum. Saya suka jumpa orang baru, selalu melahirkan pengalaman baru. Perbedaan, memungkinkan dua orang mengisi satu sama lain. Contohnya ini,”Rhena, apa bahasa Perancis ‘I Love You’?” Ia menulis di buku saya: Je t’aime. Bacanya: ze tem. Hm, terdengar seksi. Pasti pacar saya suka. Lumayan buat modal rayuan. Sebaliknya, saya cerita hubungan gay khas Indonesia, seperti mairilan, warok-gemblak, bissu, ludruk dll. “Wow!” pekiknya. Ia takjub. Sebelumnya, ia hanya tahu mairilan. Baginya, ini menarik. Di negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, ada kehidupan gay di dalamnya.

Saya menelisik lebih dalam,”Bagaimana keluarga gay di sana?” Ia menjelaskan lebih luas, Eropa. Tak ada bedanya dengan hetero. Kecuali urusan anak, biasanya adopsi. Dan itu legal. Tentu berbanding terbalik dengan Indonesia. Berkeluarga dan adopsi, mungkin. Semisal, sepasang gay tinggal satu atap dan memelihara anak saudara dekat. Tapi, ilegal. Tak ada pengakuan di ranah hukum. Eksistensi masih terbatas lingkup sosial. Lagi-lagi, kata tanya itu muncul: mengapa? Saya kira, ini terkait konsep keluarga yang berlaku di sini.

Ingat Keluarga Berencana? Orde Baru banjir tepuk tangan untuk program itu. Laju jumlah penduduk dapat ditekan. Tapi, sadarkah Anda, di saat yang sama, program itu menyayat realitas hingga lingkup personal. Perhatikan gapura yang pudar itu: laki-laki, perempuan, anak laki-laki, anak perempuan. Juga tulisan memesona: dua anak cukup. Iklan sekarang sedikit beda: dua anak lebih baik. Tetap, konsep tersebut bisa dilempari segepok kritik. Misal, LGBT tak dapat tempat sama sekali! Semua tahu, keluarga adalah konstruksi sosial. Ia tak melulu resmi. Faktanya, ada bentukan-bentukan lain: keluarga gay, keluarga lesbian, keluarga waria. Hadir, tapi tak diakui. Lagi-lagi, urusan ribet birokrasi. Melihat kondisi sekarang, untuk sampai taraf pengakuan seperti Eropa, perjuangan panjang. Makanya, saya bilang mimpi. Pun demikian, saya optimis. Melihat kehidupan sehari-hari, bentukan-bentukan lain di luar KB, marak. Contohnya pergaulan gay. Istilah bf-an (boysfriend) kian riuh. Bagi saya, ini fenomena tersendiri, gerakan bawah tanah yang bisa mendobrak idealisasi tersebut di atas. Oya, bagi yang tidak tahu, bf itu istilah pasangan tetap, pacar, bojo-bojoan, gendakan. Melinda, alias cinta satu malam, tak masuk hitungan. Sah atau tidak, tiap orang bebas merumuskan konsep keluarga. Toh, muaranya sama: bahagia. Cepat atau lambat, konsep KB pasti runtuh dengan sendirinya. Percaya saya, deh.

Hal lain yang mengganggu adalah pendidikan, khususnya Bahasa Indonesia. Baiklah, saya ajak Anda nostalgia. Ingat baik-baik pelajaran Sekolah Dasar: Ini Budi. Ini Ibu Budi. Ini Bapak Budi. Wati kakak Budi. Budi dan Wati pergi ke sekolah. Ibu Budi belanja ke pasar. Bapak Budi berangkat ke kantor. Kurang lebih seperti itu. Tak ada contekan buku SD di lemari saya. Lihatlah, betapa konsep keluarga, bahkan patriarki, sudah dijejalkan sejak anak usia 7 tahun. Imaji saya tentu berontak, mengharap ada gambaran lain. Semisal, Ini Budi. Ini Rudi. Ini Doni. Budi dan Rudi orangtua Doni. Indah, bukan?

Satu lagi yang penting dan sering tak Anda sadari: pasar! Mekanismenya sungguh menghipnotis. Nyalakan televisi. Anda akan melihat segalanya seolah wajar dan benar. Iklan shampo, sabun mandi, pembersih muka, pakaian: untuk laki-laki dan perempuan. Industri pernikahan gencar promosi pesta pora: laki-laki dan perempuan. Paling dahsyat momentum Valentine’s Day. Cinta diobral dalam bentuk coklat, baju pink, dinner, dan night club: laki-laki dan perempuan. Anda semua tahu, tujuannya satu: uang! LGBT tak masuk di situ. Dianggap the others. Berada di ruang antara. Sejauh ini, kompromilah jalannya. Yang ingin feminin, maskulin, atau merayakan cinta kasih, mesti mengadopsi segala yang berlaku di ruang publik. Tuduhan kuper, alias kurang pergaulan, tentu menyakitkan seorang yang hidup di tahun 2011. Pun, saya sendiri tak luput dari jerat itu. Sabun pakai Lux, bodylotion pakai Citra, pembersih muka bertuliskan “for men”. Saya jengkel idealisasi for men dan for woman. Seolah yang berlaku cuma dua itu, thok! Kalau Anda pebisnis, saya tunggu produk for gay, for lesbian, for biseksual, for transgender, for interseks, for queer. Ini peluang, lho.

“Pindah saja ke Kanada, bisa menikah di sana,” celetuk Rhena. Entah kenapa, saya teringat sahabat bule yang tergila-gila Indonesia: Tom Boellstorff, John McGlynn, David Reeve. Di mata mereka, Indonesia luar biasa karena keragamannya. Saya bilang,”Nggak, ah. Saya pingin nikah di Indonesia, nantinya.” Tentu dengan manusia berpenis.

Penulis : Antok Serean

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *