Stop Kekerasan Dan Kebencian Berdasarkan Orientasi Seksual dan Identitas Gender

Siaran Pers: International Day Against Homophobia (IDAHO)
Jakarta, 17 Mei 2011

Apabila seseorang diserang, diperlakukan dengan kejam, atau dipenjarakan karena orientasi seksual mereka, kita harus bersuara. (BAN Ki-moon, Sekretaris Jenderal PBB,10 Desember 2010)

Hari ini seluruh dunia merayakan peringatan hari international melawan homophobia atau yang dikenal International Day Against Homophobia (IDAHO).

Mengapa tanggal 17 Mei ?

Pada 17 Mei 1990 World Health Organization (WHO)- Badan Kesehatan Dunia secara resmi menyatakan bahwa homoseksual bukan penyakit/gangguan kejiwaan.  Di Indonesia melalui Kementerian Kesehatan pada 1993 di dalam Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa (PPDGJ) III juga mengeluarkan homoseksual sebagai gangguan jiwa/penyakit. Keputusan ini menjadi rujukan bagi para dokter,psikiatri maupun psikolog di Indonesia maupun dunia.  Kemudian pada konferensi aktivis homoseksual dan HAM dunia di Montreal, Kanada pada 26-29 Juli 2006 bersepakat tanggal 17 Mei diperingati sebagai IDAHO.

Lebih dari 70 negara mengkriminalkan seseorang karena perbedaan orientasi seksual dan identitas gender dalam kebijakan negara tersebut. Sehingga ada jutaan orang terancam penangkapan, dipenjarakan dan bahkan dalam beberapa negara dihukum mati. Untuk itu Sekretaris Jenderal dan Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan – dekriminalisasi terhadap homoseksual di seluruh dunia. Selanjutnya memastikan negara mengambil tindakan khusus untuk melindungi setiap individu dari kekerasan dan diskriminasi atas dasar orientasi seksual dan identitas gender atas alasan apa pun.

Indonesia masih menjadi salah satu negara yang mengkriminalkan homoseksual melalui kebijakan daerah (Perda) dibeberapa propinsi,seperti di propinsi Sumatera Selatan dan Sumatera Barat yang menyamakan homoseksual sebagai pelacur. Kemudian diperkuat dengan UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang menyebutkan homoseksual sebagai persenggamaan menyimpang.

Selain itu, hilangnya rasa aman dan kebebasan berorganisasi  kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) untuk menyatakan pendapat di depan publik. Misalnya kasus pembubaran pertemuan ILGA di Surabaya dan pelatihan HAM untuk kelompok Waria di Depok, yang dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan agama.  Kondisi ini membuat individu kelompok LGBT semakin kehilangan hak-hak dasarnya, karena sistem kebijakan pemerintah yang tidak memberikan jaminan perlindungan bagi setiap warga negara. Selain itu juga kehilangan hak-hak dasar lainnya seperti hak untuk mendapatkan pekerjaan disemua sektor bagi kelompok transgender.

Padahal Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi International seperti Kovenan International Hak Sipil dan Politik (UU No. 12 Tahun 2005), Kovenan Hak Ekonomi,Sosial dan Budaya (UU NO.11 Tahun 2005), Konvensi Anti Penyiksaan (UU No.5 Tahun 1998), Konvensi CEDAW (UU No. 7 Tahun 1984) dan UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM.   Selain itu masih ada lagi satu dokumen yang memberikan perlindungan,pemenuhan dan penghargaan atas dasar orientasi seksual dan identitas gender mereka yang dinamakan dengan Prinsip Yogyakarta. Dokumen ini dirumuskan oleh 29 pakar hukum dan HAM International dari 25 negara pada 6-9 November 2006 di Yogyakarta-Indonesia.

Untuk itu, Organisasi Peduli LGBT yang terdiri dari 62 organisasi di Indonesia :

  • Memastikan pemerintah (legislatif dan eksekutif) memberikan perlindungan, pemenuhan dan penghargaan kepada setiap warga negara yang memiliki orientasi seksual dan identitas gender berbeda.
  • Mencabut semua kebijakan di tingkat nasional maupun lokal yang mengkriminalkan dan mendiskriminasikan warga negara atas dasar orientasi seksual dan identitas gender.
  • Meminta kepada pemerintah Indonesia untuk menjadikan Prinsip Yogyakarta sebagai dokumen resmi di tingkat Nasional maupun Internasional bagi penegakan HAM.
  • Meminta kepada setiap orang untuk selalu menanamkan nilai-nilai persaudaraan dalam perbedaan tanpa memandang orientasi seksual dan identitas gender.

Organisasi Peduli LGBT

IAC, Violet Grey-Banda Aceh,Kapal Perempuan,Perempuan Mahardhika,KEBAYA-Yogyakarta,OurVoice, Jurnal Perempuan,KPI,IPP,Gaya Nusantara-Surabaya, ASB-Medan, RPUK-Aceh, BITES,Komunitas Sehati, PLU Satu Hati, Jar.GWL INA, JIL,Ardhanary Institute, IPPI, KontraS, Federasi Apik,Kartini Network,YSS, ANBTI,ICRP,Demos,KOMNAS Perempuan,KOMNAS HAM,Jala PRT,STIGMA ,PKM,JANGKAR,PEKKA, Institut Perempuan,WRI, PKGS UI, PULIH, FKW, YIM, Abiasa, LBH Jakarta, YLBHI, ELSHAM, Solidaritas Perempuan, PKBI Jogja,Pesada-Sumut, Elsaf, Imparsial, SEJUK, BHINNEKA, JIAD-Jatim, LINK Jombang, Komunitas Salihara, JARIK-Yogyakarta,Sahabat Kapas-Solo, Miss Mawar-Singkawang, Rumpun Tjoet Nyak Dhien, Yayasan Kalyanamitra, Sinceritas Medan, YP-LINA-Aceh, LP2,IMF-Kupang.

Kontak Person :

Hartoyo  (Sekum Ourvoice)

Mobile  : ( 081376192516 / 085813437597), Pin BB : 22F465BE

Email   : [email protected] / [email protected]

>Press Release: International Day Against Homophobia (IDAHO)
Rabu, 18 Mei 2011 10:13 Administrator
E-mail Cetak PDF

Press Release: International Day Against Homophobia (IDAHO
“Stop Violence and Hate Based on Sexual Orientation and Gender Identity
Jakarta, 17th May 201

If a person is assaulted, brutally treated, or imprisoned because of his/her sexual orientation, we must speak out. (Ban Ki-Moon, UN Secretary-General, 10th December 2010)

Today, the world celebrates international day against homophobia (IDAHO).
Why on May 17
On May 17, 1990, World Health Organization officially recognized that homosexuality is not a mental disease/disorder. In Indonesia, the Health Ministry in 1993, declared that homosexuality is no longer a mental disorder/disease in their Diagnostic Classification on Mental Disorder Guidelines (PPDGJ) III. This decision became a reference for doctors, psychiatrists, and psychologists in Indonesia and all over the world. Then, the 2006 international homosexual and human rights activist conference in Montreal, Canada declared that every 17 May is commemorated as IDAHO.

More than 70 countries still criminalize a person based on his/her sexual orientation and gender identity in their policies. Thus, millions of people are in the verge of detainment, imprisonment, and, in some countries, death penalty. Therefore, the UN Secretary-General and High Commissioner of Human Rights call for decriminalization of homosexuals in every country and ascertain that all countries undertake special measures to protect every individual from violence and discrimination based on sexual orientation and gender identity for any reason.

Indonesia is still one of those countries whose regional policies (Perda) in several provinces criminalize homosexuals, such as in South Sumatera and West Sumatera in which homosexuals are considered prostitutes and in Law no. 44/2008 on Pornography citing that homosexuality is a deviant sexual behavior.

In addition, there is a lack of security and freedom of assembly for Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender (LGBT) to express publicly, for example in the dispersals of ILGA meeting (Surabaya) and human rights training for transgender (Depok) by fanatical religious groups. This condition hinders the rights of LGBT people, because the government cannot protect its own citizens and, in the case of transgender people, the rights to have employment in every sector.

In fact, Indonesia has ratified several international conventions such as International Covenant on Civil Rights and Politics (Law No. 12/2005), Covenant on Economy, Social, and Culture (Law No. 11/2005), and Covenant on Anti-torture (Law No. 5/1998), Convention on CEDAW (Law No. 7/1984) and Law No. 39/1999 on Human Rights. In addition, there is one document that provides protection, compliance, and appreciation for LGBT people called Yogyakarta Principles. The document was formulated by 29 legal and human rights experts from 25 countries on November 6-9, 2006 in Yogyakarta, Indonesia.

Therefore, LGBT-concerned organization, comprising of 62 organizations in Indonesia:

To make sure that the government (legislative and executive bodies) provides protection, compliance, and appreciation to every citizen who has different sexual orientation and gender identity.
To repeal all local and national policies that criminalize and discriminate individuals based on their sexual orientation and gender identity.
To ask the Indonesian government to enact Yogyakarta Principles as an official document in reinforcing human rights.
To ask every individual to cultivate compassion in diversity regardless of sexual orientation and gender identity.

LGBT-concerned organizations:
IAC, Violet Grey-Banda Aceh,Kapal Perempuan,Perempuan Mahardhika,KEBAYA-Yogyakarta,OurVoice, Jurnal Perempuan,KPI,IPP,Gaya Nusantara-Surabaya, ASB-Medan, RPUK-Aceh, BITES,Komunitas Sehati, PLU Satu Hati, Jar.GWL INA, JIL,Ardhanary Institute, IPPI, KontraS, Federasi Apik,Kartini Network,YSS, ANBTI,ICRP,Demos,KOMNAS Perempuan,KOMNAS HAM,Jala PRT,STIGMA ,PKM,JANGKAR,PEKKA, Institut Perempuan,WRI, PKGS UI, PULIH, FKW, YIM, Abiasa, LBH Jakarta, YLBHI, ELSHAM, Solidaritas Perempuan, PKBI Jogja,Pesada-Sumut, Elsaf, Imparsial, SEJUK, BHINNEKA, JIAD-Jatim, LINK Jombang, Komunitas Salihara, JARIK-Yogyakarta,Sahabat Kapas-Solo, Miss Mawar-Singkawang, Rumpun Tjoet Nyak Dhien, Yayasan Kalyanamitra, Sinceritas Medan, YP-LINA-Aceh, LP2,IMF-Kupang.

Contact Person:

Hartoyo  (Ourvoice General Secretary)

Mobile  : ( 081376192516 / 085813437597), Pin BB : 22F465BE

Email    : [email protected] / [email protected]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *