5 Hal yang Keliru Tentang Gay

Banyak sudah blogger yang menulis tentang homoseksualitas. Beragam tujuan yang ingin disampaikan, namun ada beberapa hal yang menggelitik saya untuk menulis, guna memberi presfektif yang lebih nyata dan bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Sebelum mengurai satu persatu hal-hal yang ingin saya komentari, alangkah baiknya saya memperkenalkan diri. Saya terlahir sebagai laki-laki dari keluarga Muslim, yang sejak umur 6 tahun sudah tertarik dengan teman sesama jenis. Walaupun saat itu saya kurang mengerti perasaan ini, karena tahun 80-an informasi tentang hal ini belum banyak. Saya sadar  hal itu aneh, tapi saya tetap hidup biasa dan cenderung mengikuti permainan laki-laki. Tapi lingkungan seringkali mengolok-olok saya seperti banci, padahal saya tidak merasa seperti itu, dan tidak suka permainan perempuan. Ibu saya yang over protektif dan bapak yang cenderung sibuk kerja, kurang menolong kegelisahan saya diperlakukan lingkungan seperti itu. Akhirnya saya selalu berharap ada teman baik yang bisa melindungi saya dari ejekan-ejekan mereka yang menyakitkan itu. Terlebih karena saya dianugrahi kecerdasan yang lebih dari teman-teman, saya bisa mandiri di sekolah tanpa harus bergaul dengan banyak teman, cukup yang saya anggap baik dan bisa saling menghargai saja. Sedangkan tipe teman yang tukang pengejek dan pembual saya jauhi, karena saya anggap mereka hanyalah orang-orang bodoh yang tidak penting.

Dalam usia yang telah mencapai 34 tahun ini saya telah banyak melewati “pencarian” untuk mengerti perasaan saya sendiri sebagai homoseksual. Mulai dari buku-buku, datang ke psikolog dan psikiater langsung, bertemu teman-teman homoseksual baik langsung atau chatting, dan browsing berbagai macam artikel tentang homoseksual. Dari sinilah, saya menemukan hal-hal yang ingin saya komentari, baik dari tulisan yang pernah dibaca maupun dari pengalaman saya sendiri, antara lain:

(1) Menyebut “Sakit” atau “Tidak Normal” untuk Homoseksualitas

Memang banyak juga gay yang  menggunakan kata “sakit” untuk menunjuk dirinya atau teman seperti dirinya. Namun, kata “sakit” apapun itu cendeung berkonotasi negatif. Kata tersebut hanya menambah beban psikologis bagi yang merasakannya. Mengapa homoseksual tidak perlu disebut “sakit”?  Bayangkan saja, bila Anda punya rahasia yang tak nyaman tapi harus dipendam berpuluh-puluh tahun, karena tidak mudah menyatakannya pada semua orang! Orang-orang heteroseks yang sakit biasa atau sedang jatuh cinta, mungkin bisa curhat sesuka hati tentang perasaan yang dia alami, tapi merasakan kegelisahan sebagai homoseks belum tentu bisa diungkapkan pada siapapun. Karena resikonya, alih-alih akan mendapat simpati, kebanyakan mungkin hanya caci maki atau keprihatinanyang tak perlu.

Kata “tidak normal” untuk homoseks juga cukup menyudutkan, karena seolah-olah berperilaku menyukai lawan jenis adalah semua normal. Padahal menyukai lawan jenis tanpa menghormati terhadap nilai-nilai yang berlaku sama saja dengan tidak normal, tapi jarang kita mendengar orang heteroseks yang berzina dengan lawan jenis disebut sebagai orang tidak normal.

(2) Homoseksual harus “Disembuhkan”

Banyak artikel yang menyatakan bahwa homoseksual harus “disembuhkan”. Penulis artikel yang mengandung kata-kata ini biasanya adalah heteroseksual yang merasa peduli dan berkeinginan untuk “menolong” kaum homoseks. Untuk tujuannya saya ucapkan terima kasih. Namun, seperti halnya kata “sakit” saya sangat tidak suka dengan kata “disembuhkan” atau “sembuh”. Kata tersebut terlalu menunjukan arogansi heteroseksual. Ada kesan, mentang-mentang suka lawan jenis, jadi merasa paling “sehat”.

Akan lebih bijak bila melihat homoseksualitas itu seperti orang berbeda keyakinan, yang hak memang perlu ditunjukan, namun perlu pendekatan yang baik dan benar. Soal diterima atau tidak, hanya hidayah Allah-lah yang menentukan.

(3) Langsung Menggunakan Dalil-Dalil yang Bersifat Mengecam dan Mengancam

Dalam Al Qur’an atau hadist perilaku homoseksual memang tak pernah ada ruang penafsiran yang lain, kecuali perbuatan melampaui batas alias dosa besar. Mungkin juga di agama lain begitu, walaupun dalam perkembangan agama lain ada sejumlah toleransi.

Tulisan atau ungkapan yang sangat mengedepankan dalil bukan berarti tidak baik, tetapi seperti langsung menampar. Dalam kegelisahannya, pasti banyak gay yang mencari tahu sendiri tentang dali-dalil yang melarang perilaku homoseksual. Yang berarti kemungkinan besar, dalil-dalil itu sudah tahu.

Saya pernah diajak ke pengajian umum oleh teman hetero yang tahu saya gay. Sewaktu sesi tanya jawab, entah teman saya atau bukan yang menyodorkan pertanyaan di kertas tentang homoseksual. Dan cukup mengejutkan, dengan berdasarkan sebuah hadist, ustad yang sangat terkenal di kota Bogor itu menjawab singkat: “homoseks harus dibunuh!” Huh, picik amat saya pikir, mentang-mentang dia atau anaknya bukan homoseks jadi to the point begitu.

Dalil-dalil tetap perlu, sebagai penutup dan penegas dari sebuah tulisan yang berbobot bagi yang menyodorkan solusi. Artinya tulisan yang dihasilkan dari penelitian yang serius tentang homoseksualitas yang mampu mengangkap sisi-sisi dan suasana psikologis orang-orang yang merasakannya. Penelitian serius disini bukan berarti harus seperti skripsi, tesis atau yang lain-lain, tetapi yang melalui banyak penelaahan dari berbagai sumber.

(4) Pengalaman dari Sesama Homoseks sepertinya lebih Menyentuh

Ada pepatah: “serahkan segala sesuatu pada ahlinya”. Bila kita mau ke Jakarta, maka harus bertanya pada orang yang pernah ke Jakarta. Akan lebih baik lagi, bila kita bertanya pada orang yang pernah tinggal di Jakarta, dan akan sangat baik bila kita bertanya pada orang yang sering jalan-jalan keliling Jakarta.

Seringkali tulisan-tulisan yang memberi solusi tentang homoseksual berasal dari seseorang yang seperti membaca peta saja. Ditambah dali-dalil yang yang tujuannya mempertegas, maka kesannya tulisan itu sempurna menyampaikan kebenaran. Padahal hanya menebak-nebak, seperti membaca peta saja.

Namun, di jaman teknologi informasi seperti sekarang, tulisan-tulisan dari homoseks yang berbagi perjuangannya, baik dalam mengarungi rumah tangga dengan lawan jenis, mengurus anak, dan serba-serbi pengalamannya sangat melimpah. Itulah yang sebenarnya yang lebih bisa dijadikan teladan, karena itu riil.

Cerita sahabat Rasul yang berusaha beralih dari homoseks untuk hidup sesuai perintah-Nya, rasanya belum pernah terdengar dan terbaca, kecuali riwayat-riwayat tentang hukumannya. Yah tidak apa-apa, toh Allah masih memberikan petunjuk pada orang-orang yang berusaha mengungkapkan pengalamannya pada berbagai tulisan yang ada sekarang. Tentunya tidak asal terima, tapi perlu kehati-hatian, mana yang perlu dan tidak perlu diterima sesuai dengan keyakinan kita.

(5) Tidak Perlu Memaksakan Pemikiran

Para penulis dari kalangan gay seringkali menulis bahwa gay bukanlah penyakit kejiwaan berdasarkan ketentuan WHO.  Untuk ini saya setuju saja. Tetapi kadang ada yang menghakimi, bahwa gay yang berkeinginan untuk merubah orientasinya sebagai sikap kamuflase, saya sangat tidak setuju.  Itu sangat meremehkan sesama gay. Memang tujuan akhir penulis-penulis semacam ini adalah adalah untuk mewujudkan persamaan hak-hak gay  di hadapan publik sehingga bisa terbuka, menikah sesama jenis, mungkin kalau bercerai juga ada prosesnya, dan lain-lain.

Adalah hak setiap orang  untuk merasa nyaman dalam hidupnya. Ada orang yang nyaman selamanya menjadi gay, silahkan menjadi gay dengan segala konsekuensinya. Dan ada gay yang selalu gelisah. Kegelisahan mungkin pada takut ketahuan, takut dikucilkan, takut kesepian di hari tua, takut suatu saat di akhirat, dan lain-lain, yang kesemuanya tergantung pada masing-masing pribadi dalam menyikapinya.

Dan akhir kata untuk tulisan ini, saya tidak akan memaksakan orang lain seperti yang saya inginkan. Biarlah tulisan ini menjadi sedikit koreksi atas hal-hal yang tidak penting yang selama ini tidak memberi makna positif.

sumber : http://ramaanggadiredja.wordpress.com

sumber gambar : http://shanghaiist.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *