Kama Dalam Wahyu Dan Tafsir

Jakarta. Di dalam mitologi India, kisah tentang dewa Kama atau dewa cinta merupakan salah satu kisah yang sangat memikat. Manmata, atau yang lebih dikenal dengan nama Kama, adalah putra dari Brahma. Menggunakan busur panahnya ia dapat menaklukkan siapa pun dengan sihir cintanya. Dalam suatu kejadian bahkan Dewa Shiva yang sedang bermeditasi dapat dibuat terpikat dengan kecantikan Parvati. Kisah dewa Kama dapat diinterpretasikan sebagi berikut: bahwa siapa pun, dewa agung seperti Shiva sekalipun, dapat tunduk di ujung panah sang dewa cinta.

Dalam hidup ini, tidak ada yang lebih penting daripada relasi cinta dan manifestasinya menjadi relasi seksual. Kama dalam bahasa Sanskerta dapat diterjemaahkan sebagai cinta, tetapi lebih dari itu, Kama juga dimengerti sebagai, nafsu, keinginan, kesenangan sensual, atau gairah erotis. Pembahasan ini akan mendalami bagaimana erotisisme tersebut penting dalam menjelaskan manusia sebagai subjek. Bahwa manusia terlahir dengan kesadaran akan gairahnya dan juga ekspektasinya terhadap keindahan suatu hasrat tersebut.

I.Tubuh dan Paganisme
Dalam karyanya The Use of Pleasure, Michel Foucault menjelaskan bagaimana banal atau dangkalnya pemahaman manusia tentang seksualitas. Relasi seksual dipandang oleh Foucault selalu direduksi menjadi relasi yang rigid dan mekanistis. Seks selalu dikaitkan dengan bentukan-bentukan asumsi sosial, yang selalu melibatkan nilai moral, nilai agama, perspektif politis dan norma sosial. Foucault di dalam The Use of Pleasure ingin keluar dari anggapan yang sangat banal ini, lebih lanjut lagi, ia ingin menyampaikan bahwa ada segi lain tentang tubuh yang selama ini dilalaikan atau bahkan direpresi.

Dalam bagian problematisasi yang dirumuskan oleh Foucault, ia membedakan antara dua konsep seksualitas yang sangat berbeda, yang pertama adalah budaya seksualitas Kristiani dan yang kedua adalah budaya seksualitas Pagan. Pembedaan ini bisa kita ekstremkan, bahwa yang dimaksud oleh Foucault adalah bagaimana kebudayaan Barat sangat berbeda dalam memahami seksualitas, khususnya bila diperbandingkan dengan Timur, “For example, the meaning of the sexual act itself; it will be said that Christianity associated it with evil, sin, The Fall, and death….”3 Foucault menilai bahwa kebudayaan Kristiani menggaungkan glorifikasi penahanan diri, kesucian tubuh yang lepas dari keduniawian atau sifat kedagingan manusia.

Semenjak kemunculan era Fajar Budi peradaban mengikat manusia dengan identifikasi bahwa manusia adalah makhluk rasional. Rasionalitasnya merupakan penyebab keunikan serta penentu dalam konsep humanitasnya. Rasio menjadi satu-satunya instrumen yang dipercaya dan dipentingkan untuk memahami realitas. Namun realitas tidak cukup diserap serta dipahami hanya melalui akal. Realitas harus dirasakan, demikian pandangan filsafat Timur akan mendebat penekanan berlebih pada fungsi rasio.

Tubuh bukanlah suatu objek yang dengan mudahnya dapat diteliti lalu disimpulkan secara reduktif dan sempit. Tubuh bukan sekadar kesatuan organ-organ atau sebatas kulit dan daging. Tetapi keberadaan tubuh lebih substansial daripada perihal anatomi semata. Tubuh adalah tujuan untuk mencapai rasa, dalam pengertian ini, tubuh bukanlah terbatas pada perannya sebagai alat, tetapi tubuh merupakan tujuan itu sendiri. Pertanyaan yang muncul adalah, tujuan seperti apa yang dimutlakkan oleh tubuh? Filsfat dari Kama Sutra memandang bahwa kenikmatan adalah suatu yang absolut bagi tubuh. Tujuan serta hakikat dari tubuh adalah untuk merasakan kenikmatan. Kembali kepada Foucault, ia berpendapat bahwa manusia bukanlah sebatas makhluk yang rasional, menurutnya manusia adalah makhluk yang berhasrat,

“I felt obliged to study the games of truth in the relationship of self with self and the forming of oneself as a subject, taking as my domain of reference and field of investigation what might be called the history of desiring man.”

Dalam pembentukan seseorang menjadi subjek bagi Foucault erat kaitannya dengan bagaimana ia memahami hasrat serta betapa mendasarnya hasrat-hasrat tersebut bagi eksistensinya. Teknik ini, “aesthetic existence” menurut Foucault menjadi sangat penting bagi subjek, karena subjek menyibak realitasnya melalui manifestasi hasrat-hasrat tersebut. Ia memahami dirinya serta tubuh-tubuh yang lainnya melalui eksistensi estetis tersebut.
Dalam subbab tentang “Aphrodisia” Foucault mengutip Plato,“The desires that led to the aphrodisia were classed by Plato among the most natural and necessary.” Kebutuhan seksual bagi Plato tidak saja alamiah, tetapi niscaya sebagai penopang keberlangsungan spesies manusia. Ini adalah justifikasi etis mengapa seks harus berlangsung, bahwa relasi seksual diperuntukkan atas alasan-alasan kebaikan bagi umat manusia. Dalam filsafat Timur, khususnya dalam sastra seperti Kama Sutra, tidak perlu ada pembenaran terhadap kenyataan mengapa relasi seksual terjadi, atau rasionalisasi mengapa seks tersebut penting. Relasi seksual menjadi penting karena tubuh mensyaratkan pemuasan. Bahwa pemuasan itu mendasar adanya.

Dalam pengertian Foucauldian, “seksualitas kaum pagan” adalah seksualitas yang memberikan tempat tinggi bagi kenikmatan sebagai hal dipuja dan dipandang baik. Mengapa demikian? Karena seks dalam Kama Sutra maupun Sastra Kama lainnya, bukan melulu persoalan mencapai kepuasan atau persoalan tanggung jawab sosial untuk propagasi, secara radikal, seksualitas adalah tentang merasakan. Yakni, menyaksikan, menyentuh keindahan dari intensitas relasi tubuh. (Sumber: http://salihara.org)

Makalah dapat di unduh:

kama_-_lg_saraswati_dewi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *