Erotika: Tubuh, Nafsu Dan Spiritualitas

Jakarta. ourvoice.or.id – Erotika tidak perlu belajar dari Barat,karena sudah mengakar ada di Nusantara. Erotika di masyarakat Indonesia, ibarat bahan pangan seperti beras,gula atau garam yang dimport dari Barat,padahal sudah ada berabad-abad  di Indonesia. Bahkan sebelum kolonial dan agama-agama “import” datang ke bumi Nusantara.

Kira-kira begitu ungkapan Elizabeth D.Inandak, penyair asal Perancis yang menterjemahkan dan menafsirkan kembali sastra Serat Centhini (SC).  Karya “ulang” itu diberi judul Centhini,Kekasih Yang Tersembunyi. Melalui karya ini, Elizabeth banyak mendapatkan apresiasi oleh intelektual di Indonesia.  Diantaranya mendapatkan anugerah Lietary Prize for Asia (2003) atas karya tersebut.  Kali ini Elizabeth untuk kedua kalinya memberikan kuliah umum tentang Centhini di Komunitas Salihara, Jakarta, Sabtu (10/3/2012). Kegiatan ini bagian dari rangkaian kuliah umum di Komunitas Salihara tentang Erotika pada Maret 2012.

Serat Centhini sendiri sastra yang sering dijuluki sebagai karya adiluhunng yang erotik sekaligus mistik (religius). Tembang-tembangnya banyak berisi tentang persoalan seksualitas sampai yang paling intim dan “operasional”.  SC ditulis pada masa Pangeran Amangkunegara III yang menjadi Pakubuwono V di Solo (1820-1823 M).   Penulisnya tiga orang pujangga, Sastranagara-Ranggasustrasna-Sastradipura.  SC terdiri dari dua belas jilid, sembilan buku, 152 tembang dan 4.000 halaman. Semua sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Cerita dalam SC menampilkan tokoh Amongraga yang menikah dengan Tambanglaras. Sedangkan tokoh Centhini sebagai pendamping atau “pelayan” setia Tambanglaras. Menurut Elizabeth tokoh Centhini sering dianggap “misterius” karena bukan tokoh “besar” dalam cerita SC.  Tetapi tokoh Centhini seorang “pelayan” yang sangat abdi, setia dan menampilkan sosok yang penuh dengan “kesempurnaan” dan keserdahanaan sebagai manusia.  Mungkin tokoh Centhini sebagai simbol dari semua cerita keseluruhan dalam karya SC.

Selain itu, SC memberi pesan bagaimana menjadi manusia dapat memadukan antara nafsu, syahwat dan spritual menjadi satu kesatuan.  Menurut Elizabeth situasi ini disebut dengan “Erotisme tingkat tinggi”.  Dimana tidak lagi melihat seksualitas sebagai sesuatu yang kotor, hina dan tidak terjebak pada kepuasan tubuh dan nafsu belaka.  Tetapi lepas dari sekat-sekat identitas apapun, termasuk identitas kelamin ataupun orientasi seksual, tegas Elizabeth.  Hal ini seperti yang ada dalam tembang 72 SC, Empat Puluh Malam Dan Satunya Hujan. Sang tokoh suami-istri (Amongraga dan Tambangraras) melewati 40 malam dalam kamar pengantin tanpa bersetubuh (penetrasi) yang akhirnya menjadi satu kesatuan.Berikut isu tembangnya ;

Dikamar pengantin, angin diam mengembus kandil. Ini malam ke-39. Diranjang bidadari, Amongraga dan Tambangraras tidak lagi melihat ketelanjangan masing-masing maupun jarak pemisah mereka. Tidak ada lagi haluan maupun buritan, raib pula garis batas air.
Dalam empuk hangat kegelapan, mereka merasa makin lebur menyatu tubuh.  Mereka saling menjadi yang lain dan pasrah keduanya pada dekapan keremangan. Suara mereka pun mengalir yang satu dalam yang lain dan juga dalam yang kian pasang.(Tembang 72)

Dalam makalah Elizabeth ditegaskan, dari malam ke malam, erotik dan mistik, tasawuf dan Asmaragama berkembang berbarengan sehingga pada akhirnya mistik terbakar oleh api erotika dan erotika terbakar oleh nyala mistik. Dua-duanya musnah. Yang tersisa hanya cahaya. Cahaya sayap-sayapnya sang Eros.

Tembang-tembang SC banyak bercerita tentang hubungan seksual dari mulai hal yang “liar” dari seksualitas perempuan sampai praktek hubungan seksual sejenis.  Sehingga dari pengalaman Elizabeth ketika melakukan riset tentang SC untuk memintah bantuan para tasawuf/tokoh agama Islam di Jawa, para ulama keberatan ketika diminta mentejemahkan bagian tembang SC khususnya cerita-cerita tentang seksualitas yang dianggap terlalu vulgar pada konteks kekinian.

Ini beberapa tembang yang dianggap sangat vulgar dan sangat “operational”;

…Jayengraga (laki-laki) berkata kepada Banem (perempuan): ” Karena kamu yang mau, lakukan sesukamu.” Mendengar ucapan itu jantung Banem berdegup, tak pernah seorang laki-laki mempertaruhkan diri kepadanya. Ia menyingkap sarung Jayengraga dan memegang zakarnya, besar dan panjang walau masih menggelantung. Ia belum pernah melihat barang seaneh itu. Banem bertanya kepada Jayengraga : ” Dan sekarang, apa yang harus kulakukan?”. “Wah! Aku tidak tahu. Yang kepingin yang memimpin.” Jawab Jayengraga. (Tembang 127)

Selain itu masih ada tembang yang bercerita praktek hubungan sejenis;

…..Cebolang (laki-laki) berkata: “Kutunggu petunjukmu.” Seorang Warok berkumis menyuruhnya menanggalkan sarungnya, ia menggenggam batang Cebolang dan mengelusnya tanpa henti melancarkan rayuan gombalnya. Cebolang terpesona karena batangnya cepat mengeras ditangan wangi sang Warok : ” Selama hidup belum pernah kulihatnya begitu besar!”

Sang Warok menyodorkan pinggulnya yang lebih luwes. Kemudian Cebolang menghunjamkan lingganya yang bimbang ke dalam gua tempat bergema ketidakmampuan sang macan dan ejekan rebana reog. Semua bersetubuh seperti kucing jantan dan betina…. (Tembang 48)

Bahkan adegan sejenis antara Cebolang dengan seorang Adipati juga digambarkan dalam karya SC ini ;

Adipati membisikan dengan menggelitik kepada Cebolang; “Aku ingin tanya kepadamu, mana yang lebih nikmat, menunganggi atau ditunggangi? Bedanya gimana?” Cebolang menjawab tertawa: “Sesungguhnya, perbedaannya sangat besar, lebih nikmat yang ditunggangi, tiada bandingnya. Bila yang memasukannya pintar, nikmatnya menjalar ke seluruh tubuh, dari  dasar bol ke semua saraf otak yang kepayang. Seluruh nadi silau detaknya jantung dan bahkan sumsum di tulang gemetar. Daging membara dan orang dapat merasakan tubuh nurnya.

Adipati tampak tergoda: “Benar yang kamu katakan? Ayo kita buktikan omonganmu!”

Cebolang membujuknya dengan kata-kata lembut sambil meraba tebing-tebing curam duburnya. Sang Adipati bagai terguna-guna, lupa ia pria, merasa menjadi perempuan, sarungnya melorot, batang Cebolang kerja keras menerobos jalan masuknya. Ia lalu membaca salah satu rapal konyol rahasianya. Zakarnya semakin mengeras dan akhirnya amblas ke lubang yang disodorkan itu.

Si Adipati terloncat, pandangan nanar, semua terasa berputar. Cebolang menyogoknya hingga ambang diri. Adipati berteriak: “Sudah! Jangan! Cukup! Tarik kembali lelemu dari jambangku!” (Tembang 52)

Begitulah beberapa isi tembang dalam SC yang dinilai sangat sensual dan erotis. Sehingga jika kita membacanya sepotong-potong dan tidak dikaitkan secara menyeluruh pesan karya ini, maka akan terkesan ini sebuah karya yang “porno”. Hal ini juga ditegaskan oleh Elizabeth, bahwa membaca karya SC tidak boleh hanya mengambil adegan-adegan “seksualnya” saja. Tetapi harus melihat makna keseluruhan yang memadukan antara nafsu dan mistik.  Sehingga melahirkan “erotika tingkat tinggi” yang melepas dari sekat apapun.  Seksualitas berpadu dengan spritualitas menjadi Eros, ungkap Elizabeth dalam buku tersebut.

Kita bisa bayangkan ketika tembang-tembang SC ini dihadapkan pada Undang-Undang No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi pasal 1, meyebutkan:

Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

Dari definisi itu, bagaimana nasib tembang-tembang itu yang merupakan karya tulisan? Apakah kemudian karya besar itu akan dianggap sebagai barang pornografi?

Sepertinya para pembuat UU pornografi lupa akan kesejarahan bangsa sendiri. Sekarang ini, kita seperti dihadapkan pada soal ajaran Islam yang “buta”.  Padahal jelas dalam SC memaduhkan pendidikan sex dan seni bercinta  dalam konteks ajaran Islam serta budaya Jawa (yang banyak dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Budha).

Pesan utama karya SC, yang paling penting dalam melakukan hubungan sex harus dijunjung tinggi kesetaraan, keadilan, bukan hubungan seks yang eksploitatif.   Sehingga pelecehan seksual, pemaksaan hubungan sex, pemerkosaan diruang publik maupun private bukan erotika yang diajarkan dalam karya SC ini.  Alasan itulah SC ini dinilai sebagai karya sastra yang sangat adiluhung.

Karya SC ini juga pernah diteliti oleh Dr. Mohammed Rasjidi dalam disertasinya berbahasa Perancis, jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul Pertimbangan Kritis Dalam Centhini (1956).  Sayangnya penelitian itu belum diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Rasjidi sendiri pernah menjadi menteri agama pertama RI masa pemerintahan Soekarno. Menurut Elizabeth, walau Rasjidi sendiri banyak tidak setuju makna didalam SC, tetapi melakukan kritis dan dialog dengan isi SC merupakan sikap yang sangat bijaksana.

Sepertinya kita (masyarakat Indonesia) mulai “mengingkari” kebudayaan, sejarah seksualitas di Nusantara Indonesia. Malu mengakui akan sejarah dan kebudayaan sendiri. Indikasinya banyak lahir kebijakan ditingkat nasional maupun daerah yang selalu menampilkan seksualitas manusia sebagai sesuatu kotor sehingga layak diredam. Lagi-lagi budaya Barat selalu dijadikan “kambing hitam” atas “kekotoran” erotika itu. Padahal sejarah budaya Barat penuh dengan moralis dan peredaman Erotika dan Mistik, berbeda dengan budaya Nusantara.

Dan yang paling ironis, kita sebenarnya sedang mengingkari kebertubuhan diri sendiri, sebagai manusia sensual sekaligus spritual. Padahal dua hal itu sesuatu yang sangat intim ada dalam diri manusia, apapun bentuk dan namanya.  Mudah-mudahan dengan diangkat kembali karya besar SC ini dapat menjadi bahan renungan bagi setiap orang tentang makna Erotika, sex,tubuh dan spitualitas. (Hartoyo)

Makalah Lengkap Elisabeth D.Inandak Dapat di Unduh :

Makalah_Diskusi_Centhini_Elisabeth_D_Inandiak

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *