Perda syariat ‘sumbang’ kekerasan terhadap perempuan Aceh
Ourvoice.or.id- Belasan lembaga advokasi perempuan Aceh melaporkan temuan meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan yang dikaitkan dengan pemberlakuan syariat Islam di provinsi itu.
Hukum syariat justru dipandang berkontribusi pada sejumlah kasus pelecehan terhadap perempuan dalam sekitar 26% kasus yang terjadi di ranah publik.
“Seperti dalam qanun busana islami dan qanun khalwat regulasinya lebih banyak menyasar perempuan,” kata Roslina Rasyid dari LBH Apik Aceh, satu dari 16 organisasi advokasi perempuan yang membentuk Jaringan pemantau 231.
Jaringan ini, dinamai dari nomor pasal perlindungan perempuan dalam UU Perlindungan Anak, melakukan pemantauan terhadap kondisi perempuan Aceh dalam dua tahun terakhir.
Hasilnya ditemukan ada 1.060 kasus kekerasan terhadap perempuan, sebagian besar terjadi dalam ruang domestik dalam bentuk kekerasan rumah tangga.
Namun angka kekerasan juga dianggap tinggi terkait dengan dilaksanakannya Perda syariat di Aceh.
“Jadi kalau niatnya untuk melindungi perempuan qanun syariat ternyata kemudian justru menjadi salah satu penyebab pelecehan. Ini ironis,” kata Roslina saat dihubungi wartawan BBC Indonesia, Dewi Safitri.
Beban moralitas
Jaringan 231 mencontohkan dalam kasus pelanggaran terhadap qanun busana dan qanun larangan khalwat (dua orang lawan jenis yang berduaan), hukuman yang ditimpakan pada pelaku cenderung lebih berat pada perempuan.
Juga ada tindakan yang dianggap bertujuan mempermalukan pelanggar, termasuk dengan diarak di depan umum atau disiram air kotor.
“Jadi beban menegakkan moralitas seolah ada pada pundak perempuan saja,” tegas Roslina.
Anggota DPR Aceh yang turut merumuskan isi qanun syariat membantah temuan Jaringan 231. Anggota Komisi Agama dan Budaya DPRA Moharriadi mengatakan meragukan angka yang dirilis Jaringan tersebut.
“Dalam kesempatan audiensi dengan pemerintah kami mendapat laporan angkanya justru turun, KDRT dan kekerasan terhadap perempuan,” kata Moharriadi tanpa menyebut tahun catatan yang dimaksudkannya. Namun ia mengakui ada perbedaan tafsir di kalangan warga tentang bagaimana qanun dijalakan termasuk dalam hal pengenaan sanksi terhadap pelanggar.
“Masih ada cara-cara main hakim sendiri, ini yang kita juga terus upayakan agar diubah. Karena memang qanunnya belum sempurna, kita masih perbaiki.”
Pegiat Jaringan 231 di Aceh juga mepersoalkan munculnya sejumlah aturan tak tertulis dalam bentuk himbauan kepala daerah, yang menyasar perempuan termasuk larangan duduk mengangkang saat membonceng sepeda motor di Lhokseumawe serta himbauan tak menari bagi perempuan dewasa di Aceh Utara.
“Padahal persoalan sebenarnya di dua wilayah itu adalah soal ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Kenapa mengurus hal-hal yang kurang substantif semacam ini,” gugat Roslina.
Roslina mengkritik sikap pemerintah provinsi dan legislatif Aceh yang dianggap mendiamkan sikap para kepala daerah tersebut.
Sumber : BBC