Perempuan Iran, Warga Kelas Dua?
Ourvoice.or.id- Asieh Amini adalah salah satu feminis Iran yang selama bertahun-tahun melawan sistem peradilan Iran yang mendiskriminasikan perempuan. Ia punya harapan tersendiri dalam pemilu kali ini.
Selama bertahun-tahun, aktivis Iran Asieh Amini menggeluti berbagai isu represi terhadap perempuan; mulai dari apa yang dialami perempuan di penjara, vonis hukuman yang tak adil, dan eksekusi dengan hukum rajam. “Setiap hari, saya menghadapi tugas berat mengurusi perempuan di penjara yang dijatuhi hukuman mati. Saya sangat dekat dengan perempuan, beberapa dari mereka saya anggap seperti anak-anak saya. Waktu-waktu yang berlalu itu terlalu mengerikan bagi saya.”
Dari jurnalis menjadi aktivis
Asieh dulu bekerja sebagai wartawan surat kabar, hingga suatu ketika pada tahun 2003 terjadi kasus yang mengubah hidupnya. Dia mendengar dari seorang gadis berusia 16 tahun, tentang dipenjara karena dituduh melakukan hubungan seksual di luar pernikahan sah. Gadis itu terancam hukuman mati dengan cara dirajam. Wartawan itu melihat lebih dekat dan menemukan bahwa sejak usia 10 tahun Atefeh Sahaleh telah sering diperkosa dan telah menerima uang suap untuk itu: “Setelah beberapa waktu itu dianggap sebagai pekerjaan Atefeh. Dia ditahan karena dianggap sebagai pelacur. Hakim memutuskan bahwa ia bersalah dan harus dihukum mati. Investigasi yang saya lakukan menunjukkan bahwa kasus ini belum diselidiki secara menyeluruh untuk cukup dapat membenarkan penilaian ini.”
Asieh Amini menulis artikel tentang nasib Atefeh, tetapi surat kabar di mana ia bekerja tidak berani mempublikasikannya. Wartawan itu menyiapkan pengacara bagi gadis itu dan membantu keluarganya. Tapi tidak berhasil mencegah hukuman mati. “Saya belajar sesuatu yang penting: Kami memiliki hukum yang mengerikan ini di Iran, seseorang dapat dihukum mati, hanya karena Anda memiliki hubungan seksual dengan seseorang.”
Asieh kemudian kehilangan pekerjaannya di media dan gerilya di bawah tanah. Bersama rekan-rekannya ia mengkampanyekan perlawanan terhadap hukum rajam. Perjuangan itu diharapkan dapat menyelamatkan nasib banyak orang.
Diskriminasi oleh hukum
Asieh menyadari bahwa hukum di Iran mengabadikan bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Di penjara, ia bertemu perempuan yang mencoba mempertahankan diri dari pemerkosa, namun malah dihukum mati atas tuduhan “tak bermoral”.
Kasus lainnya dialami korban penganiayaan dan kekerasan dalam rumah tangga, namun tak bisa melarikan diri, diceritakannya: “Saya bertemu perempuan yang dibunuh suami, karena ia tidak dapat menceraikan suaminya. Perempuan itu menginginkan perceraian, tetapi mereka tidak bisa dan keluarganya juga tidak mendukung. “ Dalam sistem peradilan didominasi laki-laki, sangat sulit bagi perempuan untuk menggugat perceraian
Penindakan dan pengawasan
Selama pemerintahan Presiden Mahmud Ahmadinejad, keadaan perempuan makin memburuk. Orang-orang yang membela hak-hak perempuan di Iran atau demokrasi, hidup dengan resiko besar: “Banyak aktivis ditahan di penjara hidup ketakutan di bawah pengawasan yang semakin kuat ….”
Pengalaman ini juga yang dialami Asieh Amini pada tahun 2009, sebelum Ahmadinejad terpilih kembali, “Seluruh hidup saya dan semua kegiatan berada di bawah kendali. Kami ditangkapi, kami hampir tidak bisa bekerja, meskipun kami mencoba berjuang terus setelah pemilihan ulang, yang kondisinya bahkan lebih buruk … Kami tidak bisa lagi berhubungan Anda melalui telepon, mengirim e-mail dan bahkan tidak bisa salingbertemu. ” Empat bulan setelah pemilu itu Asieh Amini meninggalkan tanah airnya, yang sudah tak lagi aman.
Asieh memiliki sedikit harapan adanya perubahan dalam situasi politik. Namun menurutnya tidak bisa melalui pemilu, melainkan yang datang dari warga sendiri: “Saya berharap bahwa pengalaman diskriminasi yang kita alami selama ini dapat membantu kita lebih dekat dengan demokrasi. Demokrasi harus datang dari orang-orang yang bisa berpikir dan bertindak untuk diri kita sendiri, kita harus melakukan sendiri. Orang-orang ingin perubahan. Dan ini akan terjadi setelah pemilu tahun ini. ”
Sumber : dw.de