Surat Terbuka Kepada Fahira Idris
Jakarta, 19 Maret 2013
Kepada Yth.
Fahira Idris
Di Tempat
Saya sengaja menulis surat terbuka ini kepada mbak Fahira Idris setelah saya membaca tweet Mbak hari Selasa, 19 Maret 2013, yang mengatakan: “Tapi sebaliknya, sy menghimbau agar teman2 #LGBT dg amat sangat tidak menjadi PREDATOR bagi anak2 bangsa yg normal, shg menjadi #LGBT”
Saya jadi ingin menceritakan pengalaman hidup dan beraktivitas dengan teman-teman LGBT. Perkenalkan nama saya Titiana Adinda, biasa dipanggil Dinda, berusia 34 tahun, berjenis kelamin perempuan. Saat ini saya bekerja sebagai finance officer di Our Voice Indonesia sebuah LSM LGBT. Saya sudah bekerja di Our Voice selama 1satu tahun. Saya seorang muslim dan mengunakan jilbab sejak saya berusia 13 tahun. Selain bekerja sebagai finance officer, saya adalah seorang penulis. Sudah sekitar 11 buku yang saya tulis.
Terus terang saya amat terganggu dengan tuduhan Mbak yang menyatakan bahwa LGBT adalah Predator. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata Predator berarti binatang yang hidupnya dari memangsa binatang lain; hewan pemangsa hewan lain. Sungguh mengerikan sekali istilah itu. Kalau menurut saya Mbak tidak sepantasnya menggunakan kata Predator untuk teman-teman LGBT. Karena jelas kata tersebut berkonotasi negatif. Padahal kenyataannya sungguh tidak demikian yang saya rasakan.
Bergaul sejak lama dengan banyak teman LGBT dan sudah setahun belakangan ini saya berhubungan sangat intens dengan mereka karena saya bekerja di organisasi LGBT. Tidak sedikitpun orientasi seksual saya berubah. Saya tetap heteroseksual yang jelas tertarik kepada laki-laki (lawan jenis). Dan tidak pernah ada upaya sedikitpun dari teman-teman LGBT untuk mengubah orientasi seksual saya. Jadi tuduhan bahwa teman LGBT adalah Predator menurut saya sama sekali tidak benar dan tuduhan penuh kebencian. Saya juga sering kali membaca buku-buku terbitan organisasi LGBT. Tetapi itu sama sekali tidak membuat saya berubah menjadi seorang homoseksual.
Sepengalaman saya bergaul dengan mereka kesan yang saya peroleh adalah bahwa mereka sama saja dengan kaum heteroseksual juga. Mereka kadang nyebelin, tapi tak jarang juga menyenangkan sekali. Bahkan sebagian besar dari mereka memberi kesan sangat baik perilakunya terhadap saya. Mereka juga sangat toleran kepada saya ketika saya hendak menunaikan ibadah sholat 5 waktu, termasuk ketika saya puasa Ramadhan dan puasa Sunnah Senin-Kamis. Bahkan saya les privat mengaji alias membaca Al qur’an yang gurunya adalah seorang homoseksual. Les mengaji ini saya lakukan seminggu sekali.
Saya belajar mengaji lagi karena kemampuan tajwid saya berkurang sangat jauh akibat operasi pemasangan selang mikro di kepala saya sebab saya terserang bakteri meningitis (radang selaput otak) 9 tahun yang lalu. Akibat serangan meningitis itu selain saya menderita amnesia juga kemampuan syaraf motorik saya berkurang yang menyebabkan kaki kanan saya lumpuh, sehingga saya memakai tongkat untuk berjalan dan beraktivitas.
Satu hal lagi yang membuat saya kagum dengan teman-teman LGBT adalah mereka sangat terbuka dan mau menerima saya bekerja sebagai finance officer meskipun kondisi saya mengunakan tongkat untuk berjalan atau saya adalah seorang difable. Artinya jelas mereka melihat kemampuan saya daripada tampilan fisik saya.
Demikianlah surat terbuka ini saya sampaikan. Mbak, teman-teman LGBT juga sama seperti kita yang heteroseksual. Sama-sama membayar pajak terhadap Negara, punya perasaan cinta dan kasih sesama manusia. Maka sudah sepantasnya kita maupun Negara melindungi mereka. Kita juga mesti sadar kalau semua manusia itu sama dihadapan Allah SWT yang membedakan hanya taqwanya. Dan yang bisa menilai ketaqwaan seseorang hanyalah Allah SWT yang berhak melakukannya. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Salam hangat,
Titiana Adinda