[Foto] Pelatihan Penulisan Skenario Bersama Riri Riza
Ourvoice.or.id – Sutradara film Riri Riza memberikan pelatihan penulisan skenario kepada beberapa aktivis perempuan, aktivis kesehatan remaja dan kelompok Lesbian,Gay,Biseksual dan Transgender (LGBT) di Ourvoice, Jakarta, 26/1/2013.
Lembaga yang terlibat diantaranya Institut Perempuan-Bandung, Mitra Perempuan-Jakarta, Aliansi Remaja Indepeden-Jakarta dan Ourvoice-Jakarta. Total peserta yang ikut sebanyak 9 orang.
Sedangkan peyelenggara dan penginisiasi kegiatan ini adalah Olin Monteiro, seorang aktivis perempuan yang banyak bekerja pada isu-isu penghapusan kekerasan terhadap perempuan melalui media film.
Pelatihan dibuka sekitar pukul 11.00 WIB dengan materi tentang gambaran besar dari sebuah skenario film. Riri sendiri memberikan contoh format “baku” dalam penulisan skenario, programnya sudah ada dijual dipasaran yang biasanya diberikan nama softwarenya ” Final Draft”, Script ware” dan “Sophocles”. Itulah beberapa software yang biasa digunakan dalam penulisan skenario yang lebih memudahkan penulis dan juga pihak lain yang membacanya.
Kemudian Riri memberikan bahan skenario lengkap dari cerita “Gie” yang berjumlah 121 halaman. Setiap halaman memakan waktu sekitar 1 menit ketika dijadikan sebuah film. Jadi kalau 121 halaman, lebih kurang 121 menit, itu cara paling mudah untuk memprediksi waktu dalam skenario yang kita buat yang akan dijadikan film.
Kemudian Riri menyatakan bahwa sebuah cerita dapat dijadikan sebuah film jika ada:
1. Karakter utama, karakter tersebut harus membuat motivasi untuk titik tuju dan akhirnya ada tujuan (goal) yang ingin dicapai. Dalam film bisa saja seorang karakter utama bisa lebih dari satu, tetapi akan meyulitkan penulis membangun cerita jika karakter utama lebih dari satu. Karakter utama menjadi sangat penting dalam sebuah cerita dan harus jelas apa yang akan di capai oleh sang karakter utama tersebut.
2. Titik Tuju, seorang karakter utama harus ada cara titik tuju bagaimana mencapai tujuan, mungkin bisa dikatakan tentang strategi apa yang akan dilakukan oleh sang karakter utama untuk dapat mencapai tujuan tersebut. Di bagian inilah termasuk membangun konflik-konflik, tantangan dan perlawanan yang harus dikembangkan.
3. Tujuan, yaitu capaian apa yang akan didapat dari sebuah cerita melalui karakter utama. Tujuannnya tidak selalu dalam bentuk kebahagian tetapi juga dalam bentuk kesedihan atau “kekalahan”. Yang penting jelas tujuan akhir dari cerita film ini apa.
Riri memberikan contoh pada peserta :
Karakter Utama : Andi (30 tahun), seorang petugas kebersihan di sebuah sekolah miskin di Jakarta, yang anaknya juga sekolah di sekolah tersebut.
Titik Tuju :
Andi mendapatkan hambatan pertama, mengetahui bahwa sekolah akan digusur oleh pengembang. Kemudian Andi akan mencari tahu soal itu dari berbagai pihak, dari mulai guru-guru sampai pengembang. Hambatan semakin kuat, ternyata kepala sekolah sudah menyetujui karena mendapatkan uang yang besar dari pengembang. Tapi Andi tidak putus asa, dia terus berusaha bagaimana sekolah agar tidak digusur. Andi terus mencari kekuatan lainnya misalnya dengan menggalang para alumni sekolah tersebut untuk melawan. Tantanganpun mulai ada, misalnya ancaman pembunuhan ataupun anaknya yang akan di culik. Sampai akhirnya Andi memutuskan untuk melawan melalui jalur hukum dan menggalang media dan alumni. Sampai akhirnya Andi menang dan sekolahpun tidak digusur.
Tujuan (Goal) dari cerita tersebut: Andi akan mencari jalan agar sekolah dimana dia bekerja dan anaknya sekolah tidak jadi digusur oleh pengembang. Hal ini meyangkut pekerjaannya, pendidikan anaknya dan yang lebih luas lagi persoalan kehidupan manusia di masyarakat setempat.
Itulah gambaran sederhana membangun sebuah skenario film, ungkap Riri.
Tiga tahapan itu biasanya disebut dengan Minor Change (babak I berdurasi sekitar 30 menit atau 30 halaman skenario), Moderatae Change (Babak II, sekitar 70 menit atau 70 halaman skenario) dan A turning point (babak III, sekitar 10-15 menit atau 10-15 halaman skenario).
Masing-masing babak akan terdiri dari scene atau dialog yang tergabung dalam squence (adegan). Dalam sebuah babak bisa terdiri beberapa scene.
Babak I (Squence), akan memperkenalkan sang karakter utama. Pengenalan tokoh karakter dalam media film tidak harus dalam bentuk verbal tetapi bisa menggunakan berbagai cara, misalnya dari mulai gaya penampilan, mimik wajah, latar belakang budaya, sosial, ekonomi maupun politik. Inilah kekuatan media yang bisa menggunakan berbagai media. Riri menegaskan sebaiknya sekecil mungkin menggunakan dialog-dialog yang berlebihan untuk mengenalkan tokoh utama.
Peserta kemudian memutar film “Gie” pada babak I yang memperkenalkan tokoh utama dalam hal ini Gie. Masing-masing peserta diminta untuk mengamati bagaimana film tersebut memperkenalkan sang tokoh utama sebelum masuk pada babak II (Squence).
Sedangkan pada babak II, babak yang paling panjang dari sebuah film, bagian inilah sang tokoh utama akan mendapatkan tantangan demi tantangan, solusi menghadapi tantangan tersebut sampai bagaimana meyelesaikan tantangan tersebut.
Baru kemudian babak III akan menjadi babak penutup bagaimana sang karakter utama menyelesaikan itu semua, apakah yang dilakukan pada babak II hasil apa? Berhasil atau gagal ( happy ending atau sad ending).
Selanjutnya karena masing-masing peserta yang ikut pelatihan ini harus membawa ide cerita yang sebelumnya sudah dikirimkan kepada peyelenggara. Ini sesi membahas ide masing-masing cerita dengan menggunakan babak-babak yang sudah dibahas sebelumnya (karakter utama, titik tuju, tujuan).
Satu persatu peserta bercerita dari masing-masing ide cerita, dan Riri memberikan masukan sehingga tiga aspek dalam cerita skenario memenuhi “kaidah”, ada pengenalan tokoh utama, ada tantangan/konflik dan ada tujuan yang akan dicapai. Pada sesi inilah yang sangat melelahkan peserta minimal buat saya. Luar biasa sulit bagaimana membangun imajinasi apalagi untuk memunculkan ‘drama” dalam cerita tersebut. Riri sendiri menekankan sebaiknya untuk membangun “drama” tidak pada persoalan yang “biasa” atau standard saja tetapi harus ada sesuatu yang lebih dari persoalan itu.
Contoh dari cerita salah satu peserta : Karakter utama seorang penari terkenal yang cantik, banyak orang yang ingin tidur bersamanya, bahkan sampai pejabat. Dari hotel ke hotel penari itu “dibooking” oleh pejabat yang ingin menidurinya. Tetapi ada satu titik semua kejayaan itu “roboh” karena sesuatu hal, karena sang penari terinfeksi HIV ataupun karena hal lainnya.
Untuk mencari ide cerita pada babak II ini menurut saya sangat sulit karena tidak hanya memunculkan yang “spektakuler” atau “cetar membahana” saja tetapi harus memikirkan hal-hal yang tidak membangun stigma atau diskriminasi dari seluruh cerita. Misalnya pada cerita sang penari, karena pekerja sex maka dia terinfeksi HIV dan AIDS dan kemudian menjadi miskin dan susah. Padahal tidak selalu pekerja sex terinfeksi HIV, cerita ini jika tidak dikemas dengan hati-hati justru akan semakin memberikan stigma buruk pada pekerja sex dalam kehidupan sehari-hari. Itulah contoh yang menurut saya sulit sekali bagaimana membangun konflik-konflik yang tetap tidak memberikan stigma atau diskriminasi pada keseluruhan cerita. Disinilah kekuasaan dan kekuatan penulis skenario bermain dan dituntut kejeliannya dalam membuat sebuah cerita dalam sebuah film, ungkap Riri.
Kemudian Riri memberikan tips bagaimana membangun konflik dalam sebuah cerita film, biasanya dimulai dari konflik masyarakat, sosial, kekuasaan (konflik yang paling luar), kemudian konflik pribadi (keluarga,teman,percintaan) dan ketiga konflik Jiwa (penerimaan diri atau hal-hal yang paling dalam dari diri sendiri). Ketiga model itu digambarkan dalam bentuk lingkaran-lingkaran dari lapisan paling luar (masyarakat), lapisan kedua (pribadi) dan lapisan ketiga (internal diri). Ketiga model-model konflik ini penting untuk dipikirkan dalam membangun cerita dalam konflik yang dibangun. Harus benar-benar jelas konfliknya supaya penonton tidak menjadi bingung dan menjadi fokus.
Selanjutnya Riri memberikan beberapa bahan untuk memudahkan menulis skenario, misalnya dengan menuliskan ide cerita dari film tersebut. Ini seperti “guideline” penulis dari mulai sang karakter utama dan tujuannya apa. Dalam pelatihan ini peserta diminta membaca beberapa ide cerita yang pernah dituliskan oleh Riri dan sudah difilmkan, seperti Eliana,eliana, 3 Hari Untuk Selamanya, Gie, Sanp Pemimpi.
Contoh Ide Cerita Film Eliana,eliana:
Eliana seorang gadis 26 tahun, didatangi oleh ibunya Bunda saat sedang berada dalam titik terendah dalam peranatauan 5 tahun di Jakarta. Ketika tiba di rumah kontrakan, ia pun terpaksa menarik ibunya keluar dari rumah karena tagihan kontrakan belum dibayarkan oleh sahabat teman kontrakan Heni. Eliana dan Bunda berkeliling kota mencari Heni, dan mulailah sebuah proses perkenalan antara ibu dan anaknya.
Itulah contoh ide cerita yang harus menjadi pegangan awal seorang penulis untuk mengembangkan babak demi babak dalam sebuah cerita.
Pelatihan skenario ini ditutup sekitar pukul 18.00 wib dan terakhir sesi Riri memberikan materi tentang apa itu “Genre” dalam film dan mengapa penting diketahui oleh penulis skenario.
Genre ini sendiri muncul awalnya dari kritikus film yang biasanya disebut dengan konvensi, rankaian setting, peran, kejadian dan nilai yang menjadi ciri khas dari sebuah film.
Genre sendiri sebenarnya untuk memudahkan penonton mengetahui jenis film apa yang mereka tonton, horror atau komedi.
Misalnya mengapa dalam film genre horror, tokoh hantu akan selalu berulang-ulang muncul dalam film, ini karena penulis sadar bahwa penonton memang mempunyai perkiraan sendiri bahwa akan banyak adegan hantunya. Selain itu bagi penulis sendiri agar tidak keluar dari genre yang kita bangun ketika menulis dari perkiraan penonton film kita nanti.
Adapun beberapa contoh genre yang ada selama ini ada diantaranya : Love story (percintaan), Horror, Epik (pertarungan manusia melawan kekuasaan), Cowboy, Action, Drama sosial, Kriminal, Biografi, Komedi, Sejarah, Animasi, Musical, Coming Of Age (menuju kedewasaan atau mencari jati diri), Testing plot (kekuatan untuk melawan godaan dan pantang meyerah), pendidikan dan masih ada macam genre lainnya.
Sebelum diakhiri, peserta mempunyai tugas rumah dengan membangun kembali cerita yang sudah dimiliki dari bekal pertemuan kali ini. Riri meyarankan untuk membaca contoh-contoh skenario yang sudah ada dan sebaiknya menonton film-film yang sesuai dengan genre yang sedang kita akan tulis. Hal ini untuk memberikan informasi dan menambah wawasan bagi sang penulis skenario “pemula”. Riri sendiri berharap dalam ruang ini (baca peserta) akan muncul penulis-penulis skenario yang handal di Indonesia, Amein.
Pertemuan follow selanjutnya akan dilakukan bulan Februari 2013 dan menunggu kesiapan Riri Riza dan yang pasti peserta harus meyelesaikan tugasnya. Pelatihan skenario ini di rancang dua kali tatap muka dan masing-masing tatap muka sekitar 6-7 jam. (Hartoyo)