Pengantinku | OurVoice

Kamar pengantin ditutup rapat. Ada dua perempuan di dalamnya, aku memakai baju gamis biru dan dia mengenakan baju pengantin ala Jawa. Kupeluk, ia tertegun sesaat, lalu melepaskan jari-jemariku. Ia menunduk mebiarkan aku mengecup keningnya.

“percayalah, aku tidak apa-apa” ia menyentuh daguku. Ijab kabul baru dilaksanakan 30 menit lalu, dia harus segra masuk kedalam pelaminan menyapa para tamu-tamu. Aku butuh sebentar untuk memeluk tubuhmu terakhir kalinya, merasakan detak jantungmu sebelum di belah oleh keindahan akan kau nikmati malam ini dengan seorang laki-laki. Pesta itu ramai sekali, pikiranku juga dikacaukan oleh nyanyian-nyanyia pilu dari panggung. Ia melangkah ke pintu lalu dibuka membiarkan tukang rias masuk menyelsaikan makeupnya, wanita separoh baya itu melempar senyum padaku, aku membalas agukan lesu, kemudian duduk merenung di pinggir ranjang pengantin.

“dia adikmu?” selidik si tua itu

“iya” dia mengelus kepalaku, seraya membiarkan mukanya didandani. Yah, adek kau tiduri. Jika saja aku tidak mengangguk ketika kau memintaku singgah dirumahmu dan lebih mengikuti ajakan kakak tingkatku untuk pergi mengikuti seminar, mungkin… ah, mengapa sulit sekali menerima takdir tak pernah memihak? selalu saja menyalahkan waktu, kata ikhlas nampaknya lebih mudah di lafaskan.

Seharusnya kau tidak menggosokkan bajuku atau tidak mengatariku makanan setiap sore, seharusnya kau tak perlu memelukku hangat setiap malam, seharusnya kau tak perlu menunggu di luar kelas hingga aku selsai ujian, seharusnya kau tidak mengambil pakaian kotorku dan menggantinya dengan pakaian bersih ketika aku mengikuti pelatihan Advokasi perempuan di asrama selama satu minggu di karantina, seharusnya kau tidak mencium bibirku biarkan saja aku mencium pipimu, seharusnya kau tidak membiarkan aku jatuh cinta padamu, seharusnya… argh!

“Dek…” jari-jemarinya telah memakai Inai menyentuh telapak tanganku, beberapa detik aku tersihir oleh kecantikan kekasihku. Dia telah siap, kugandeng tanganya, aku terlihat pendek setelah ia memakai sandal pengantin berhak tinggi. Aku menuntunya ke singasana ratunya, alunan musik pengantin tari tanggai mengikuti ketukan langkah kami. Egois sekali jika aku menghancurkan senyum bahagia ini demi perasaan kutau jalanya akan membawa kepada dongeng-dongeng tentang “penghalalan pernikahan sejenis” kenyataanya sekarang ialah aku mengantarkan dia kedalam hidup sebenarnya ke sebuah pernikahan.

Aku mulai merasakan getaran dari dalam tubuhnya, ia terlihat cemas ia menggenggam jari-jemariku kencang, aku menoleh kemukanya mulai tegang, ada sesuatu ditahan di mata, menggenang bak telaga.

“Kau ingin aku percaya cinta? maka selsaikan takdir sebagai istri. Kau akan tetap menjadi lukisan terindah dalam hidupku, warnamu, goresanmu… dia akan selalu mengingatkanku tentang kasih sayang seorang perempuan keras kepala, pemarah, dan egois” gumamku di pinggir telinganya. Kulihat bibirnya bergetar.

mempelai laki-laki menantinya di pintu, melemparkan senyum lebar. Aku mulai melapas gandengan tangan kami, kuserahkan tangan kekasihku.

“tolong jaga dia mas” bisiku

“tentu…”

“janji?”

“pasti”

Kulepaska… mereka menuju kepelaminan. Aku menarik langkahku cepat menuju kamar pengantin, menyambar tas ranselku. Ribuan pana menghunus hati, aku terduduk lemas… kuseka air mata deras mengalir

“Aku tau perasaanmu”sahabat baiknya muncul di pintu

“antar aku ke trminal” pintaku. Ia menepuk pundaku

“baiklah…”

Aku mengikuti Neti melewati kerumunan orang-orang tengah larut dalam pernikahan kekasihku. Di kejauhan… mata kami bertemu, aku membaca kebahagiaan di sana. Aku telah naik di atas motor…

“tunggu…” aku turun lalu berlari ke atas panggung. Aku mulai tidak perduli dengan tatapan aneh padaku ketika air mataku lebih deras dari air mata orang tuanya. Kembali kupeluuk

“pergilah… aku tidak akan apa-apa” bisiknya lagi

“mas, titip dia…” suaminya mengangguk pasti. Aku tidak menoleh. Keputusan tlah dibuat dan resekonya adalah kehilangan hampir seluruh hatiku terbakar oleh cinta. Aku tidak akan memberikan pernikahan pada wanita itu, dia butuh anak bukan ilusi cinta saja. Ia ingin melanjutkan hidupnya, adilkah untukku? jika aku berkata tidak, maka orang lain ataupun Tuhan akan lantang berteriak

“itu sepadan dengan pilihan hidupmu sebagai lesbian”

Maka, wanita akan selalu menikah meski mereka lesbiankan?

Aku yakin ini bukan perasaan egoisme semata, sebab cinta tidak menuntut “kebersamaan” selama mengingat dia bisa meneteskan air mata, menebar kesenangan dan tidak mengutuk kebahagiannya bersama orang lain, maka itulah cinta. Cinta adalah menghormati keputusan orang yang kita cintai.

“jika aku menikah dengan laki-laki apa adek akan marah?” pertanyaanmu mulai menyadarkan aku bahwa aku segra kehilanganmu

“tidak”

“loh, tidak cemburu?”

“yah cemburu pasti. Jika itu impianmu, maka mari kita wujudkan, tapi sebelum takdir itu menjemputmu kau akan menjadi milikku seutuhnya”

Sebelum cinta pergi selamanya dalam hidupmu, maka siramlah ia hingga menghadirkan musim paling indah meski terakhir kalinya.

“apakah adek akan membenciku?”

“tidak?”

“kenapa?”

“aku tidak akan membenci seorang wanita memberikan cinta berlimpah untukku, aku tidak akan membeci wanita selalu menantiku di pintu, menyambut tas kuliahku dan merapikan buku-bukuku”

“jika aku pergi kau akan bersama siapa? apakah kau bisa meletakan sepatu di tempatnya? apakah kau bisa makan tepat waktu” kristal dimata wanitaku pecah. Kekawatiran mengukir jelas di kerut mukanya

“hei…” kuhapus airmatanya, tapi tatapanya memecahkan tangisku, kami berpelukan menangis bersama

“jika aku pergi, pulanglah pada keluargamu” katanya serak. Aku mengigit bibirku keras. Perih tersiram ke hati.

* * *

Aku pulang…

Kelurga adalah lautan air ketika tubuhmu penuh lumpur. Tubuhku lunglai, kakaku menyambut dengan kedua tanganya. Hanya kekasihku kuinginkan. Keinginan liar itu mulai menjadi racun. Aku mulai mengigau malam-malam

“bangunlah…” kakaku menepuk-nepuk mukaku

“dia sudah menikah”

“tidurlah lagi, fikiranmu akan sedikit tenang. Berdoalah”

Aku memejamkan mata kembali, berharap semuanya akan kembali ketika aku melihatnya menyandang tas ransel menyusuri kampus sambil melambaikan tanganta di luar kaca, memberikan isyarat

“sttt… aku menungumu di sini” senyumnya membuatku terpesona… selalu membuat hatiku bahagia, jika kita punya cinta kita tidak ingin papapun lagi.

“hei! kamu… kenapa kau tersenyum?” teriak dosen didepanku. Aduh…

“maaf pak, resliting bapak sepertinya terbuka”

“huahahahahahaha….” riuh kelas dipenuhi tawa. Muka dosenku seperti udang direbus setengah matang, sebenarnya memang iya  si Naga ini tidak sadar jika dari tadi dijadikan perbincangan oleh mahasiswanya, kebetulan tepat, dosen satu itu aneh, wajah bataknya itu selaras dengan sifat pemarah, genit pada wanita cantik, aneh dia suka sekali menepuk-nepuk mahasiswa cantik sambil meremas-remas pundak, alasanya biar lebih dekat secara emosional dengannya, aneh saja jika si wanita mau saja demi nilai A.

Setelah mata kuliah selsai aku menemuinya, ia duduk manis di kursi semen kampus

“adek lapar? belum sarapan kan tadi?” aku mengangguk, tangan kami bergadeng menyusri kampus

“iya… mau menemani?”

“iya… takut jika adek kecilku di culik drakula. Auuummm” ia memasang muka jeleknya tepat di wajahku.

“ah, kau kira aku ini bayi…”

“kau kan bayiku…”

“hahahah…” gerai tawa kami dibawa angin pagi bersama daun-daun Mahoni berjatuhan ke tanah.

Penulis:  Zhu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *