Dominasi Gay Maskulin Versus Gay Feminin
Oleh: Wisnu Adihartono Reksodirdjo*
Baru-baru ini saya tergelitik dengan kicauan teman saya, Hartoyo, di salah satu jejaring sosial tentang gay maskulin yang meng’intimidasi’ gay feminin. Di salah satu kicauan Hartoyo, intinya adalah mengapa gay maskulin seperti memiliki rasa risih dan jijik terhadap gay feminin yang kemayu, padahal mereka sama-sama gay, hanya dibedakan antara maskulin dan feminin.
Mengapa hal ini bisa terjadi ? Pengelompokan gay maskulin dan gay feminin, menurut saya, juga sangat tidak terlepas dari stereotip yang ada di dalam dunia heteroseksual, yaitu laki-laki harus maskulin dan perempuan harus feminin. Seorang laki-laki diharuskan berani mengambil resiko, memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, dan lain sebagainya, layaknya Dewa Zeus yang memiliki energi hebat (Connell ; Masculinities, 2005 ; 68). Perumpamaan seperti ini mengakibatkan terbentuknya budaya maskulin dalam kehidupan sehari-hari, sehingga maskulinitas adalah suatu hal yang terberi (taken for granted) dan yang harus diterima oleh siapapun, termasuk harus diterima oleh kelompok gay.
Kebetulan saat ini saya sedang mengenyam pendidikan di Marseille, Perancis. Jangan dibayangkan bagaimana Perancis memperlakukan kelompok gay yang bisa hidup bebas ; jangan bayangkan pula bahwa di Perancis, kelompok gay dapat menikmati pernikahan sesama jenis. Perancis adalah salah satu negara di kawasan Eropa Barat yang masih belum menerima adanya pernikahan sesama jenis, seperti di beberapa negara Skandinavia, Belanda, Belgia, dan Spanyol. Perancis, bagi saya, adalah sebuah negara yang masih konvensional, padahal Paris dijuluki sebagai salah satu kota yang mengakomodir kelompol gay dengan daerah khususnya yang dinamakan kawasan Le Marais.
Kembali ke pertentangan antara gay maskulin dan gay feminine, saya pernah mengikuti sebuah seminar terbuka yang diselenggarakan oleh institusi tempat saya studi. Seminar ini sebenarnya membicarakan apakah kelompok gay di Perancis pada saatnya nanti dapat menikah sesama jenis,seperti teman-temannya di Belanda, dan lain-lain. Sekedar informasi saja, saat ini Perancis memiliki sistem PACS, yaitu sebuah sistem yang HANYA memperbolehkan seorang laki-laki dan perempuan, seorang laki-laki dan laki-laki, seorang perempuan dan perempuan untuk dapat hidup bersama (samen leven) tetapi TIDAK menikah secara resmi.
Didalam seminar tersebut ada seorang gay feminin, yang menanyakan secara gamblang tentang bagaimana keberadaan PACS saat ini dan mau di bawa kemana sistem tersebut. Kemudian ia juga sempat menanyakan apakah PACS akan segera diganti dengan sebuah sistem yang mengizinkan kelompok homoseksual untuk dapat menikah secara resmi dan mendapatkan hak yang sama dengan pasangan laki-laki dan perempuan. Pertanyaan ini dijawab oleh seorang sosiolog muda Perancis yang menyatakan bahwa sampai saat ini PACS belum dapat tergantikan karena Perancis masih sangat khawatir dan ‘’takut’’ dengan otoritas Katolik. Memang saat ini, tambahnya, ada beberapa pasangan gay yang sudah menikah secara negara di Perancis, seperti di kota Montpellier dan Lille, tetapi secara menikah secara agama belum dapat disahkan.
Sontak setelah sang sosiolog ini menjawab panjang lebar, seorang gay maskulin berdiri dan menyambung dengan nada tegas pernyataan narasumber tersebut. Ia mengatakan bahwa baginya, tidak adanya pernikahan sesama jenis secara agama dan negara di Perancis, sama sekali tidak mengganggu sistem pernikahan yang ada. Ia terang-terangan menentang pernikahan sejenis dan mengatakan dengan nada yang angkuh bahwa ia tidak suka dengan gay feminin karena tingkah laku mereka yang seperti perempuan.
Hal ini menandakan bahwa kekuatan stereotip antara laki-laki dan perempuan tidak saja terjadi di Indonesia, tetapi juga di luar Indonesia, walaupun presentase yang tidak suka terhadap gay feminin dapat dikatakan sedikit. Tentu saja tesis dari sosiolog Perancis, Pierre Bourdieu, tentang Dominasi Maskulin dapat kita tarik garis lurus, bahwa dominasi tidak saja terjadi antara laki-laki terhadap perempuan, tetapi terjadi dominasi antara gay maskulin dan gay feminin.
Lalu beberapa saat setelah seminar tersebut, saya berada di satu tempat yang sama dan berkenalan dengan sosiolog muda tersebut. Saya menanyakan mengapa masih ada dominasi tersebut. Lalu ia berpendapat bahwa dominasi kelompok gay adalah kelompok sub-budaya (sub-culture) yang secara seks adalah laki-laki. Seorang laki-laki, gay atau bukan, tetap memiliki karakter sama, yaitu ego yang sangat tinggi. Jadi sangat wajar apabila ada gay maskulin yang tidak suka terhadap gay feminin. Berbeda dengan lesbian yang secara seks ia adalah perempuan. Lesbian atau bukan, sifat lembut dan keibuan masih tetap ada. Bagi sang sosiolog muda ini, sampai saat ini seks adalah penentu segalanya.
*Sedang studi di Ecole des Hautes en Sciences Sociales (EHESS) Marseille,Perancis