Koleksi Pustaka Pelangi : Novel “Amba” Karya Laksmi Pamuntjak
Judul Buku: Amba
Pengarang: Laksmi Pamuntjak
Tebal: 496 hlm; 15 x 23 cm
Cetakan: 1, September 2012
Penerbit; Gramedia Pustaka Utama
Di Pulau Buru, laut seperti seorang ibu: dalam dan menunggu. Embun menyebar seperti kaca yang buyar, dan siang menerangi ladang yang diam. Kemudian malam akan mengungkap apa yang hilang oleh siang.
Tapi sesekali, sesuatu bisa terjadi di pulau ini -sesuatu yang begitu khas dan sulit diabaikan- dan orang hanya bisa membicarakannya sambil berbisik, seperti angin di atas batu yang terus-menerus membalun dan menghilang melalui makam orang-orang tak dikenal. Dan di jajaran lembah di baliknya, seolah melalui puisi dan tenung, ada cerita yang diam-diam menjelma.
Seperti kisah Amba dan Bhisma ini. (hlm. 15).
Ourvoice.or.id- Demikian Laksmi Pamuntjak memulai kisah tentang Amba dan Bhisma dalam novel berlatar sejarah yang diberi judul sesuai nama karakter utamanya, Amba. Nama Amba diambil dari salah satu tokoh perempuan dalam Mahabharata. Amba dalam Mahabharata adalah calon istri Salwa yang diculik Bhisma. Setelah Salwa tidak menginginkannya lagi, Bhisma juga tidak mau menikahi Amba karena telah bersumpah tidak akan menikah. Dalam novel ini, Laksmi mengangkat konflik cinta serupa yang terjadi di antara Amba, Bhisma, dan Salwa di seputar pergolakan politik terkait peristiwa Gestapu tahun 1965.
Amba adalah seorang perempuan Jawa, putri seorang guru di desa Kadipura, sebuah desa di lereng gunung Merapi (Kadipura adalah desa fiktif). Ia adalah anak sulung dari tiga bersaudara, dua saudaranya juga perempuan, yaitu si kembar Ambika dan Ambalika. Sudarminto, ayah Amba mendalami Serat Centhini, Wedhatama dan puisi-puisi Jawa lain. Tidak heran jika Amba memiliki ketertarikan pada sastra.
Pada usia delapan belas tahun -saat itu usia delapan belas bagi seorang perempuan berarti perawan yang tidak laku- Amba ditunangkan dengan Salwani Munir, seorang pria baik-baik, dosen Universitas Negeri Gadjah Mada. Salwa adalah pria yang menarik dan gampang mendatangkan simpati. Tapi sayangnya, Amba tidak mendapatkan cinta yang menggairahkan dari diri Salwa. Salwa bukanlah pria dengan cinta menyala-nyala yang mau mengumbar berahi sebelum terikat pernikahan.
Ketika mereka terpisah karena Salwa harus bertugas dan tinggal setahun di Surabaya, Amba melamar menjadi penerjemah bagi seorang dokter di sebuah rumah sakit di Kediri. Dokter Bhisma Rashad adalah laki-laki paling tampan yang pernah dilihat Amba. Ia adalah dokter lulusan Universitas Karl Marx di Leipzig, Jerman Timur. “Nama itu, Bhisma, akan mengingatkannya pada namanya sendiri, Amba, dan bagaimana keduanya bertaut sampai hari penghabisan. Yang satu tak bisa disebut tanpa yang lainnya, tak bisa mati tanpa yang satunya.” (hlm. 179). Berbeda dengan Salwa, Bhisma menawarkan kepada Amba cinta yang penuh gairah yang menghalalkan persetubuhan sebelum pernikahan. ” … Dan di sana ia merayap, ke tiap ujung pori dan saraf, membakarnya, dan Amba merasakan bagian-bagian tubuhnya berganti-ganti diombang-ambingkan sakit dan hasrat, terdera tetapi menanti. Kulit itu bilur kena cakar dan gigit, ungu, kemudian menghijau, kemudian menguning. Bhisma menyentuh itu semua, seraya membenamkan hasratnya ke dalam Amba, berkali-kali.” (hlm. 202).
Amba hamil, tapi Bhisma menghilang. Bukan melarikan diri dari tanggung jawab, melainkan ditangkap tentara pada penyerbuan ke Universitas Res Publica, Yogyakarta, 19 Oktober 1965. Bhisma ditahan gara-gara menjadi simpatisan mahasiswa Sayap Kiri. Maka, Bhisma meninggalkan Amba, bahkan pada tahun 1971 ia dibuang ke Pulau Buru, dan Amba meninggalkan Salwa. Lalu muncullah seorang pria ketiga, Adelhard Eilers, yang menawarkan perlindungan bagi Amba dan bayi dalam kandungannya.
Hampir empat puluh satu tahun kemudian, Amba mendatangi Pulau Buru. Pada awal tahun 2006 itu, ia menerima sebuah e-mail anonim berisikan pesan: Bhisma meninggal. Ia yang bermula dan berakhir di Buru. Amba ingin mencari tahu apa yang terjadi pada ayah putri satu-satunya, Srikandi. Pada tahun 1979, ketika kamp tahanan politik Pulau Buru dibubarkan dan seluruh tahanan politik dipulangkan, Bhisma tetap tinggal di Pulau Buru.
Bhisma meninggalkan surat-surat yang dimasukkan dalam tabung bambu dan disimpan di bawah sebatang pohon meranti di kampung Walgan. Manalisa, penghuni asli Pulau Buru yang dianggap sakti dan merupakan teman baik dari Bhisma, menjaga peninggalan Bhisma untuk Amba. Kehidupan Bhisma di Pulau Buru dan situasi genting yang membuat Bhisma mati terungkap dalam surat-surat itu, surat-surat yang tidak pernah dikirimkan.
Mengapa Bhisma tidak pulang ke Jawa dan mencari Amba? Padahal seperti katanya: “… aku tak pernah membiarkan kau meninggalkan sukmaku, sebab kau amanatku sekaligus takdirku.”? (hlm. 462).
Jawabannya ada dalam salah satu surat Bhisma: “Cinta kita sendiri sudah begitu besar, begitu luar biasa. Kebanyakan orang tak pernah mengalaminya. Apabila cinta yang begitu besar itu termasuk memiliki objek yang kaucintai, itu namanya ketidakadilan. Sungguh tak adil, untuk mencintai dan dicintai sedemikian rupa, dan melakukannya di atas penderitaan orang lain. Akhirnya, kamu benar: hidup kita telah ditulis di langit. Dan kita tak kuasa menentangnya.” (hlm.459).
Pada tahun 2006, Laksmi Pamuntjak menjadi bagian dari kelompok “Buru Tujuh” yang berkunjung ke Pulau Buru. Observasinya di Pulau Buru menghasilkan gambaran Pulau Buru masa kini yang dipaparkan secara gamblang dalam novel. Tapi tidak hanya Pulau Buru masa kini yang bisa dipaparkan Laksmi, ia juga berhasil menghadirkan situasi Pulau Buru dan para tahanan politik di masa lalu. Untuk itu ia melakukan riset pustaka dan mengumpulkan informasi dari orang-orang yang pernah menjadi tahanan politik atau pernah bekerja di Pulau Buru pada saat pulau ini menjadi kamp tahanan politik. Maka dalam bagian ucapan Terima Kasih, akan muncul nama-nama seperti Tedjabayu Sudjojono, Dr. Aru Sudoyo, Hersri Setiawan, Kresno Saroso, dan Pramoedya Ananta Toer.
Laksmi juga mengumpulkan referensi mengenai situasi dunia politik Indonesia, terutama di Jawa, pada saat sebelum dan sesudah Gestapu. Alhasil, ia berhasil membangun latar belakang sejarah yang disajikan secara meyakinkan.
Semua riset yang dilakukan Laksmi menghasilkan berbagai informasi yang membuat novelnya tebal dan kaya, cerdas dan berisi. Amba menjadi kombinasi imajinasi yang luar biasa dari observasi lapangan dan kemampuan menghidupkan hasil riset serta referensi dalam tataran fiktif .
Kisah cinta yang menjadi tumpuan novel ini sama sekali tidak menjemukan lantaran latar belakang peristiwa sejarah Indonesai yang hingga saat ini masih diliputi kabut ketidakjelasan. Peristiwa sejarah itu tidak sekadar menjadi lahan tumbuhnya romansa, tapi menjadi bagian yang berpengaruh secara signifikan dalam keberlangsungan hidup kedua pecinta, Amba dan Bhisma.
Sebagai penulis yang antara lain telah menghasilkan dua himpunan puisi, yaitu Ellipsis (2005) dan The Anagram (2007), Laksmi sama sekali tidak memiliki kecanggungan dalam hal bahasa dan kata-kata. Ia memiliki kekayaan diksi yang menghasilkan racikan kalimat-kalimat anggun dan sedap dibaca. Sehingga meskipun cukup tebal (dengan buku berukuran besar juga), Amba tetaplah sebuah novel yang bisa dinikmati dan memberikan kepuasan dalam pembacaaannya.
Coba nikmati dan resapi (lagi) kalimat-kalimat racikan Laksmi Pamuntjak berikut ini:
“Aneh memang: selalu ada yang membuat terlena dan tak berdaya pada hujan, pada rintik dan aromanya, pada bunyi dan melankolinya, pada caranya yang pelan sekaligus brutal dalam memetik kenangan yang tak diinginkan.” (hlm. 24).
“Ia berjalan ke bawah tirai air; ia tak sekali pun menyibak, apalagi menolaknya. Ke dalam malam itu, aku meniti turun, seakan-akan melayang, begitulah ia mengenang detik-detik itu; dan sebelum cahaya muncul, ia ingat bagaimana tirai itu terjatuh, begitu tipis, begitu bukan gerimis, lebih seperti sejuta benang yang merajut cermin.” (hlm. 168).
Indah, bukan?
Bagi pembaca novel-novel Indonesia yang sudah bosan dengan novel-novel Indonesia yang sarat dengan khayalan romantis mengenai indahnya cinta, Amba akan membawa kesegaran dengan muatan cinta realistis dan tragis di dalamnya.
Amba adalah novel debut Laksmi Pamuntjak. Maka marilah kita berharap perempuan cerdas ini akan melahirkan novel-novel lainnya yang ditulis dengan kecakapan intelektual yang serupa.
Sumber : sepetaklangitku.blogspot.com