Kejamnya penjara dan pelecehan seks untuk mereka yang dicap PKI

Ilustrasi Gerwani. ©2012 Merdeka.com

Ourvoice.or.id- Ratusan narapidana di Lapas Klas I Tanjung Gusta Medan, Sumatera Utara, mengamuk, Kamis (12/7). Mereka memprotes fasilitas penjara. Sebagian napi juga memprotes peraturan pemerintah yang tak memberikan remisi pada tahanan narkoba dan teroris.

Fasilitas dan kondisi tahanan memang tak pernah memuaskan, terkadang bisa sangat memuakkan. Pada saat Orde Baru, kondisi tahanan paling mengerikan dialami mereka yang dicap terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI).

Sri Sulistyawati (71), adalah seorang wartawati Warta Buana yang sebelas tahun dipenjara di Bukit Duri. Sri menjadi tahanan politik karena dianggap pembela Soekarno. Alasan lain, Sri pernah membantu mendirikan Gerwani cabang Jakarta. Selain itu suami Sri adalah Ketua Pemuda Rakyat Sukatno yang menjadi underbouw PKI. Tanpa pengadilan Sri dijebloskan ke penjara.

“Di sana saya makan dengan pinset karena nasinya dicampur dengan beling dan pasir. Mereka (Pemerintah Soeharto) ingin kita mati pelan-pelan,” jelas Sri kepada merdeka.com.

Sri menjelaskan umumnya tahanan tidak disiksa di Penjara Bukit Duri. Tapi dibawa ke tempat lain. Istilahnya dibon, atau dipinjam. Nasib tahanan pun bergantung ke tempat mana dia dibon.

“Banyak yang tidak kembali lagi ke tahanan. Mungkin dieksekusi,” kata Sri yang mengalami siksaan di lokasi Gang Buntu, Kebayoran Lama.

Dalam buku Menyeberangi Sungai Air Mata, kisah tragis Tapol 65 dan upaya rekonsiliasi terbitan Kanisius tahun 2007, dikupas penderitaan yang dialami para Tapol 65.

Salah satu korban geger 65 itu bernama Christina Sumaryati. Seorang mahasiswi IKIP Yogyakarta. Christina ditangkap karena tercatat sebagai anggota Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI). Rupanya tentara menganggap IPPI merupakan organisasi underbouw PKI.

Awalnya Christina ditahan di Kamp Tahanan Cebongan. Siksaan di sini masih tak terlalu berat. Anehnya para penjaga selalu meminta melihat paha para tahanan wanita. Katanya kalau Gerwani, ada cap palu aritnya. Tentu saja itu akal-akalan saja.

Christina sempat dibebaskan karena dianggap tak terlibat. Baru saja dia mulai menjalani hidup, April 1968 dia kembali ditangkap. Alasannya pun aneh. Karena orang yang dicari tak ada, para anggota ormas itu menangkap Christina.

“Saya ditelanjangi dan disuruh naik ke atas meja. Mereka membakar kemaluan saya dan menyiksa saya,” kata Christina.

Setelah itu mereka membawa Christina ke tahanan Wirogunan. Di sana kembali dia mengalami siksaan di luar batas kemanusiaan. Mulai dipukuli, ditelanjangi, diarak hingga dilecehkan.

Dari Wirogunan, dia dibawa ke Kamp Plantungan dan akhirnya penjara Bulu Semarang. Christina baru bebas tahun 1978. Dia dipenjara 10 tahun tanpa proses pengadilan atau kesempatan membela diri.

Kisah lain dituturkan Maria Madgalena Sujilah. Dia seorang penari yang mahir, hingga pernah menari di depan Presiden Soekarno. Kemudian dia bergabung dengan pemuda rakyat dan menarikan tari genjer-genjer. Itulah awal mimpi buruknya.

Sujilah muda tak tahu apa itu politik, atau PKI. Dia hanya ikut-ikutan teman. Disuruh menari ya menari. Tak tahu apa yang terjadi di Lubang Buaya, Dewan Jenderal atau apa itu Gerpol.

Oleh tentara Sujilah dipaksa mengaku terlibat penculikan para jenderal. Bagaimana mau terlibat, saat itu dia ada di Yogya. Tapi mereka terus memukuli Sujilah. Ditelanjangi, disundut rokok, dilecehkan hingga diberi makanan yang hanya layak untuk babi.

Masih banyak kisah serupa yang membeberkan gelapnya penjara bagi para tahanan politik. Tiga orang ini hanya mewakili ribuan orang yang ditangkap dengan sewenang-wenang dan diperlakukan sangat buruk dalam tahanan.

Sumber : merdeka.com

Klik : kesaksian guru anggota gerwani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *