Hak azasi dan empati | OurVoice
Oleh : Tanti Noor Said*
Ourvoice.or.id- Belakangan ini kita tiba-tiba sering sekali melihat tampilan slogan sisa ORBA yang bilang, enakan zamanku kan, dengan foto mantan presiden Soeharto sebagai background. Setidaknya saya sadar dan sering mendapati tulisan ini di social media. Dalam hati kecut juga. Jujur, separuh dari diri saya berkata, betapa saya merasa ikut bersalah, sebagai salah satu pelajar yang ikut turun ke jalan dan bersorak sorai ketika Soeharto turun, ternyata hanya sampai disana perjuangan saya. Merasa bertanggung jawab, karena saya lupa, sebagai mahasiswa, saya sebenarnya tidak pernah dididik dan mendidik diri untuk bersikap politis. Cenderung ikut arus yang berjalan, selama itu yang dibilang mainstream, atau suara mayoritas, aman untuk masa depan saya, disayangi guru, teman dan keluarga.
Beberapa tahun belakangan ini, saya terkaget-kaget. Dengan perkembangan yang ada dalam masyarakat yang sekali lagi saya unduh dan saksikan lewat social media. Di masa lalu, saya lebih banyak kaget dengan sajian berita mengenai sepak terjang pemerintah yang setengah diktator dan setengah nggak mikir panjang untuk kemaslahatan warga negaranya, kali ini saya banyak dibuat terkejut oleh kejadian-kejadian yang ada dalam masyarakat. Masyarakat menjadi pelakunya. Kejadian-kejadian ini meliputi tindak kekerasan terhadap kelompok yang berbeda ideologi dan cara hidup, sisi materialisme yang segitunya diper-Tuhankan, hingga penggunaan atribut keagamaan sebagai simbol kesucian yang sebenarnya mengcover masalah yang lebih besar, krusial dan bobrok.
Awalnya saya menertawakan dan sekaligus malu menyaksikan ulah masyarakat tersebut. Namun, kemudian saya prihatin dan tersadar bahwa saya ini adalah bagian didalamnya. Tidak mungkin berlaku sebagai orang luar atau outsider dan bilang, itu adalah masyarakat Indonesia. Atau itu adalah perilaku kelas menengah, atau itu adalah perilaku orang-orang yang tidak mengenyam pendidikan yang cukup. Kenyataannya saya gamang. Karena ilmu antropologi, yang mempelajari masyarakat yang saya dalami dan elu-elukan ini, kadang membuat saya menjadi outsider, penonton yang sibuk menganalisa.
Namun singkat cerita, analisa itu diperlukan. Bukan untuk sekedar dapat menunjuk-nunjuk, ini lho masalahnya, yang membuat kawan saya Hartoyo yang aktivis itu geregetan sama antropolog seperti saya. Akan tetapi analisa ini juga harus disosialisasikan ke dalam masyarakat. Dengan menuliskannya dalam bentuk artikel, mudah-mudahan dijadikan bentuk refleksi untuk kita semua.
Kita semua tau bahwa Indonesia adalah masyarakat yang sangat plural, dari mulai sistem kepercayaan, kesukubangsaan dan nilai-nilai yang dijadakan pegangan hidup. Selain itu nilai-nilai yang ada di Indonesia, mengalami banyak transformasi dikarenakan banyaknya pengaruh dari kolonisasi dalam berbagai bentuk. Membanding-bandingkan masyarakat Indonesia, dengan masyarakat lainpun, bukan merupakan usaha yang produktif. Karena sejarahnya dan karakteristiknya yang berbeda.
Akan tetapi kita pernah, dan mungkin masih dibuat bangga dengan prinsip Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, yaitu berbeda-beda, tetapi tetap satu. Karena Pancasila itu sakti, dan kesaktiannya itulah yang membuat kita terus bersatu. Waktu itu kita lupa untuk mengkritisi, bahwa, bukan Pancasila yang sakti, tapi kekuasaan diktator Soehartolah yang sangat powerful dalam mengeleminasi potensi konflik yang ada. Bahwa Ika dalam Bhineka Tunggal Ika semata-mata merupakan sebuah paksaan untuk tunduk pada sebuah nilai yang homogen yang datangnya dari pimpinan teratas. Dari sistem seragam sekolah, pendidikan agama yang kita harus ikuti tanpa bertanya, sampai dengan upacara bendera yang pastinya mengandung pembacaan UUD 45 dan Pancasila, tanpa diresapi maknanya.
Tidak ada satu agamapun, saya yakin sekali yang bilang, kita boleh berlaku tidak adil dan mendzhalimi manusia maupun mahluk Tuhan manapun. Namun berapa banyak kelompok pengikut agama yang diusir dan dilarang untuk beribadah. Para public figure kelas menengah yang tidak punya pengetahuan yang mumpuni, beramai-ramai memenuhi gedung DPR untuk menduduki jabatan Dewan yang Terhormat, tanpa tau dan sadar, tanggung jawab yang harus mereka emban sebagai penyambung lidah rakyat. Bahkan mereka diam saja, ketika ketidakadilan menimpa kaum TKW dimana-mana. Tentu tidak semuanya. Tapi terlalu banyak yang pasif dan tidak berbuat apa-apa, karena menganggap jabatannya ini sebagai sebuah pekerjaan dibanding amanat yang besar untuk melindungi rakyatnya.
Apakah kemudian kita menyalahkan Pancasila? Tentu saja tidak. Juga bukan salahnya agama. Namun andai saja teks-teks ini disosialisasikan kepada para pelajar dengan contoh yang lebih membumi, seperti simulasi percakapan ataupun games ketimbang hapalan. Apa itu yang dimaksud dengan saling respek, apa itu makna kasih bagi manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, apa itu menghormati sesama dan menghormati perbedaan. Karena sayangnya sistem kredit yang kita emban pada saat sekolah, bentuknya adalah hapalan. Namun implementasinya sangat absurd. Kita tidak dikondisikan untuk sadar bahwa agama, gender, orientasi seksual dan kelas sosial adalah merupakan perangkat. Tapi manusianya inilah yang lebih penting. Bahwa ada yang namanya kesetaraan, diluar dari ide agama, kelas sosial, ras dan orientasi seksual.
Jika saja kita semua mengerti empati, hak azasi manusia, dan saling menghormati, kita akan tau dan sadar, kita tidak memiliki hak untuk menghakimi agama, gender, orientasi seksual dari kelompok lain. Kita juga tidak punya hak untuk duduk sebagai wakil rakyat, jika empati dan tanggung jawab itu tidak kita miliki. Dan tidak satu orangpun, punya hak untuk mengkorupsi uang rakyat. Bukannya kemudian menggunakan atribut kerudung, untuk mengcover kelancangannya mengambil uang rakyat. Tapi sayangnya, mereka tidak mengerti itu. Karena agama, kelas sosial dan perangkat lainnya, lebih penting daripada hak azasi manusia dan empati.
*Penulis adalah Antropolog lulusan University of Amsterdam dan kontributor Our Voice.