Nursyahbani Katjasungkana: Membaca Surat Kartini Harus Membasuh Tangan

Nursyahbani Katjasungkana (Foto: Hartoyo/Ourvoice)

Ourvoice.or.id – Surat-surat Kartini bukan hanya menjadi inspirasi bagi gerakan perempuan saat ini tetapi juga telah menjadi inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan, ungkap Nursyahbani Katjasungkana.

” Dalam buku “50 tahun sumpah pemuda” ada tulisan ayah saya ( R.Katjasungkana) yang meyebutkan bahwa surat-surat Kartini memberikan inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan”, ungkap Nursyahbani.

Menurut Nursyahbani keluarga ayahnya begitu mengagumi pemikiran Kartini, bahkan saat kecil buku surat-surat Kartini milik kakeknya yang berbahasa Belanda ditempatkan begitu sangat istimewa, dirak buku paling atas. Kakeknya pernah berpesan jika ingin membaca buku surat-surat Kartini harus membasuh tangan dengan air terlebih dahulu. Itulah betapa kakek saya sangat kagum dengan pemikiran Kartini, jelas Nuryahbani kepada Hartoyo (Our Voice) dikediamannya Depok-Jawa Barat,14/4/2013.

Nursyahbani Katjasungkana (58) adalah salah seorang pejuang hak-hak perempuan masa kini. Beliau ikut membangun gerakan perempuan sebelum dan sesudah reformasi, dari mulai ikut mendirikan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dan Lembaga Bantuan Hukum untuk perempuan korban kekerasan (LBH APIK) yang sekarang ada di 14 wilayah di Indonesia. Selain itu Nursyahbani juga pernah menjadi anggora Dewan Perwakilan Rakyat periode 2004-2009 melalui Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Surat-surat Kartini juga memberikan semangat bagi Nursyahbani untuk bekerja selama puluhan tahun untuk penegakan hak-hak perempuan di Indonesia. Tetapi sayangnya apa yang diperjuangkan oleh Kartini sekarang justru semakin “mengkristal” situasinya, ungkapnya.

Negara melalui kebijakan-kebijakan yang mengkriminalkan dan mendiskriminasikan perempuan semakin memperburuk kehidupan perempuan. Akibat kebijakan itu angka kematian ibu melahirkan semakin tinggi di Indonesia, jelasnya. Menurut Nur ini karena agama lagi-lagi dijadikan justifikasi untuk meminggirkan perempuan. Padahal pandangan agama yang bias gender ini pernah dikritik oleh Kartini dalam sebuah suratnya yang menegaskan bahwa agama semestinya untuk membebaskan setiap manusia bukan justru dijadikan alat untuk meminggirkan manusia, tutur Nusyahabani.

Menurut catatan Komnas Perempuan ditulis oleh Kompas.com bahwa di tahun 2012 ada 282 peraturan daerah (perda) di 100 kabupaten dan kota di 28 provinsi.

Nursyahbani juga meyampaikan keberatan tentang kebijakan lembaga international seperti UNFPA yang mempunyai program-program yang justru semakin menempatkan perempuan terpinggirkan, misalnya dengan apa yang disebut dengan Gender Harmony.

Program itu kerjasama UNFPA, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan beberapa lembaga lainnya yang mempunyai semangat membangun keluarga yang “Sakinah” yang justru menempatkan perempuan dalam peran-peran domestik, ungkap Nursyahbani.  Nursyahbani sendiri sempat melakukan protes keras dengan mengirimkan surat kepada UNFPA, walau UNFPA menyatakan tidak mendukung bahkan sudah menghentikan program tersebut.

Kalau dilihat dalam konteks sekarang, surat-surat Kartini begitu sangat relevan sampai sekarang untuk dikaji dan dimaknai lebih jauh, ungkap Nur. Walau dirinya mengakui bahwa kepahlawan Kartini mendapatkan kritikan dari berbagai pihak terutama tentang poligami dan feodalisme. Tetapi Nursyahbani menjelaskan bahwa konteks pada masa itu berbeda dengan masa sekarang. Kartini saat itu “dipingit” oleh keluarganya, mungkin kalau konteksnya seperti saya sekarang, sudah pasti Kartini akan kabur, ungkap Nur. Jadi kalau melihat semangat dari tulisan-tulisan Kartini harus dikontekskan pada situasinya.

“Wong memahami Al-quran saja harus disesuaikan konteks apalagi membaca surat-surat Kartini, tegas Nursyahbani.

Nurysahbani Katjasungkana (Foto: Hartoyo/Ourvoice)

Nursyahbani sendiri saat kakeknya begitu mengagumi ide Kartini, dirinya tidak tahu sama sekali apa yang diperjuangkan oleh Kartini saat itu. Tetapi ketika masih Sekolah Dasar setiap tanggal 21 April, saya selalu memperingatinya dan hanya tahu bahwa Kartini pejuang emansipasi wanita. Tetapi semakin bertambah umur dan pengalaman, memulai saya memahami apa yang diperjuangkan Kartini khususnya tentang hak-hak perempuan.

Apalagi Nursyahbani semasa sekolah di salah satu desa Jawa Timur pernah mengalami trauma dua kali atas kejadian pernikahan dini teman perempuan sepermainannya. Sehingga sampai sekarang Nursyahbani kalau melihat anak perempuan dinikahkan secara paksa ibarat bunga yang baru kuncup akan berbunga kemudian diremas dan rusak, cerita Nur dengan wajah gemas.  Pernikahan dini itulah salah satu perjuangan Kartini yang dituliskan dalam surat-suratnya, ungkapnya. Obrolanpun kemudian ditutup dengan jamuan makan siang menjelang malam bersama Nursyahbani Katjasungkan dalam suasana hujan deras saat itu. (Hartoyo)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *