Kesaksian Anak Yang Dibesarkan Orang Tua LGBT
Ourvoice.or.id – Berikut inilah respon publik yang membaca surat terbuka Titiana Adinda yang ditujukan untuk Fahira Idris. Fahira Idris melalui account twitter @fahiraidris pada 19 Maret 2013 menyatakan bahwa Lesbian,Gay,Biseksual dan Transgender (LGBT) merupakan “PREDATOR”. Surat Titiana Adinda dapat dibaca disini.
Ini adalah respon dari Nia, seorang anak yang dibesarkan oleh keluarga LGBT:
Assalamualaikum semuanya,
Sedikit cerita, saya seorang muslim yg merupakan anak dari seorang ibu yang homoseksual. sedari kecil saya berada dalam lingkungan teman2 ibu saya yang LGBT. Semuanya sangat baik, penyayang, dan tidak pernah sekalipun mempengaruhi saya untuk menjadi LGBT.
Banyak dari mereka yg juga memiliki anak, dan sampai saat ini tidak ada satupun dari mereka yg “tertular” oleh suatu hal yang kalian sebut sbg “penyakit”. Yang ada adalah, saya, dan anak2 mereka yg jg merupakan teman2 saya, menjadi manusia yang penuh toleransi, damai, tidak tertutup oleh kebencian.
Sampai sekarang saya adalah wanita dengan orientasi heteroseksual, sudah menikah & bahagia. Menjadi manusia yang baik & beragama tentunya sempurna. Tapi kalau pilihannya adalah menjadi umat beragama yg pintar & taat, tapi kehilangan hati nurani dan kasih sayang, saya lebih baik menjadi orang baik yg bodoh.
Amalah ibadah kita hanya Allah yang menilai. Bukan kalian sesama manusia yg bs mempertanyakan akhlak, pengertian terhadap Al Quran, dsb. Apalagi sampai menasbihkan diri sebagai “muslim sejati”. Jangan sampai pengetahuan mendalam kalian terhadap agama kalian, menjadikan kalian sombong dan merasa lebih baik dari orang lain.
Wassallamualaikum wr wb.
Sedangkan ini adalah kesaksian dari Ferre Alvarado, seorang gay yang menjalni hidup sebagai heteroseksual;
Dear Mbak Titiana Adinda,
Saya berharap, indonesia kedepannya lebih banyak mempunyai orang-orang berpikiran luas seperti anda. Kita butuh orang-orang spt ini untuk leih maju, tidak melulu stuck pada suatu topik itu ke itu saja.
Saya seorang Discreet Homosexual, tapi saat ini saya memilih untuk menjalani hidup SEPERTI seorang pria heterosexual. Artinya saya menjalani kehidupan penuh kebohongan (thanks to people like Fahira Idris) karena pertimbangan beberapa hal yang berpengaruh besar terhadap kehidupan orang-orang yang saya cintai;Keluarga saya.
Menjadi Homosexual bukan pilihan, karena saya merasakannya dari umur saya 6 tahun, bagaimana saya memilih pada umur segitu? Dan bukan juga karena pengaruh lingkungan, dari kecil saya dibesarkan dalam lingkungan ultra “religious” orthodox masyarakat Minangkabau, yang memandang dunia hanya dalam dua kategori; Surga dan Neraka.
Saya sangat terluka ketika Uni Fahira mencap LGBT sebagai PENYAKIT dan juga sepertinya bisa DITULARKAN. Analoginya ada dua jenis mineral; Besi Dan Alumunium. Jika Besi yang ferromagnetic bisa di-induksi magnet, lain halnya dengan Alumunium, tidak ada reaksi sama sekali.
Note Toyo: Itu dua dari jutaan cerita pengalaman hidup orang-orang yang bersama LGBT maupun kehidupan LGBT sendiri. Cerita ini bisa menunjukkan bahwa semakin kita toleransi dan saling menghormati sesama manusia maka akan semakin kecil korban-korban kekerasan maupun diskriminasi di Indonesia atas dasar orientasi seksual dan identitas gender.