[Foto] Eva.K Sundari, Konferensi Melawan Korupsi Jangan Sampai “Memble”
Ourvoice.or.id – Korupsi tidak “bergender” semua jenis kelamin, baik perempuan dan laki-laki punya peluang melakukan korupsi jika punya kekuasaan,ungkap Eva K.Sundari anggota Komisi III DPR RI dari fraksi Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP). Hal itu diungkap Eva ketika menjadi narasumber dalam pertemuan “Southeast Asia Regional Conference, Women Fight Corruption”di Mandarin Oriental Hotel, 18-19 Maret 2013.
Pelaku korupsi memang tidak berkaitan dengan jenis kelamin maupun orientasi seksual seseorang tetapi jika memiliki kekuasaan atau posisi jabatan yang strategis maka peluang untuk melakukan korupsi semakin besar. Sehingga menurut Eva yang perlu dilakukan bagaimana gerakan perempuan dapat berkontribusi dalam perbaikan sistem gerakan pemberantasan korupsi, tegas Eva K.Sundari. Karena jangan sampai hanya melakukan konferensi-konferensi sampai “dower/memble” saja, tetapi harus masuk atau diluar sistem untuk memperbaikin struktur yang ada, tegas Eva. Dia juga memberikan apresiasi atas kuatnya masyarakat sipil di Indonesia yang jelas memberikan dampak positif dalam melawan korupsi dan demokrasi.
Walau pelaku korupsi tidak mengenal gender tetapi dampak dari korupsi kelompok perempuanlah yang paling mendapatkan dampak besar. Hal ini diungkapkan oleh Dian Kartika Sari, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia(KPI). Selain itu KPI juga memaparkan pengalaman kelompok perempuan di wilayah Jawa Tengah, Sulawesi Tengah dan Kalimantan Timur. Untuk dapat membaca laporan hasil kegiatan KPI dalam penguatan perempuan untuk melawan korupsi dapat didownload disini.
Perempuan khususnya didesalah yang paling berdampak terhadap praktek-praktek korupsi, ungkap Dian di sela-sela acara tersebut. Dari mulai bantuan sosial, proyek pembangunan desa, pengurusan Kartu Penduduk semua rawan korupsi ditingkat desa karena kualitas pendidikan perempuan masih rendah di Indonesia, ungkap Dian.
Tujuan dari konferensi ini selain untuk memperingati hari perempuan international yang jatuh pada tanggal 8 Maret juga diharapkan dapat menghasilkan beberapa “resolusi/harapan” penting perempuan dalam memerangi korupsi di Indonesia maupun kawasan Asia Tenggara.
Peserta acara tersebut dihadiri dari beberapa aktivis perempuan, pemerintah Indonesia dan dari perwakilan beberapa negara di Asia Tenggara (kecuali Thailand, Singapora dan Brunei Darussalam) ditambah dari perwakilan Amerika Serikat, Australia, Bangladesh dan India.
Adapun peyelenggara kegiatan kerjasama antara United Nation Office on Drug and Crime (UNODC), Komisi Pemberantasan Korupsi, Pemerintah Indonesia (Bappenas) dan KPI.
Ada hal yang membuat penulis “tercengang” dari kegiatan tersebut, dimana tempat pelaksanaannya ditempat yang begitu “mewah”, sebuah hotel berbintang tetapi perlu dipertanyakan apakah ada dampak bagi perempuan miskin yang menjadi korban korupsi? Mudah-mudahan kegiatan ini benar-benar memberikan dampak positif bagi perempuan untuk melawan korupsi, bukan hanya kegiatan dari konferensi ke konferensi sampai “dower/memble” (mengutip Eva K. Sundari) yang hanya menghabiskan dana proyek belaka. (Hartoyo)