[Foto] Sapta Darma: Di Antara Perebutan Ruang Personal, Kelompok Dan Publik
Ourvoice.or.id – Waras!!! Itulah salam yang diucapkan oleh penganut agama “Sapta Darma” ketika kami peserta Sekolah Pluralisme Kewargaan-Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM, Yogyakarta, 16/2/2013. Kegiatan kunjungan ini merupakan bagian dari rangkaian sekolah yang sebelumnya juga ada kunjungan ke pesantren Waria.
Salam tersebut dapat dimaknai sebagai sebuah aturan ajaran agama tetapi juga dapat diartikan sebagai sebuah “ritual kebudayaan” biasa untuk meyapa untuk persaudaraan. Hal ini juga dapat terjadi di semua agama maupun kebudayaan lainta, misalnya ucapan Assallamualaikum (Muslim), Salom (Kristiani), Rahayu (Penghayat) ataupun Horas (Batak), Samporason (Jawa)Selamat Pagi, Salam sejahtera dan lainnya. Walau tentunya masing-masing salam mempunyai makna sendiri bagi penganutnya termasuk dalam ajaran Sapda Darma.
Ini sejalan yang diungkapkan oleh Samsul Makharif selaku peneliti agama loka dari UGM yang menyatakan untuk melihat ajaran agama lokal maka dapat dilihat dari praktek kehidupan sehari-hari, itulah ajarannya.
Sapta darma sendiri adalah sebuah aliran kepercayaan yang diakui oleh pemerintah melalui kementerian pariwisata kebudayaan RI. Sedangkan berdasarkan buku sejarah pemerimaan wahyu Sapta Darma, ajaran ini adalah agama. Agama Sapta Darma. Secara organisasi Sabda Darma telah dicatatkan melalui akte notaris RM Wiranto, SH pada 17 Maret 1959 atas nama Yayasan Srati Darma (Yasrad).
Ajaran Sapta Darma diwahyukan kepada Hardjosopoero yang kemudian disebut dengan Panuntun Agung Sri Gutama. Pewahyuan itu dituliskan dan dikembangkan oleh Soewartini Martodihardjo, SH yang kemudian disebut dengan Sri Pawenang. Tokoh perempuan Sapta Darma ini pernah menjadi anggota MPR RI dari utusan perwakilan golongan.
Agama Sapta Darma sendiri perkembangannya dimulai sejak tahun 1956, walau penerimaan wahyu pertama oleh Hardjosopoero pada 17 Desember 1952. Ada tiga hal yang penting diketahui sejarah dalam ajaran agama Sapta Darma; 1. Masa penerimaan Wahyu, 2 Masa pengabdian pada negara dan bangsa, 3. Masa pemeliharaan dan peningkatan penghayatan ajaran.
Sapta Darma juga mempunyai beberapa ritual dan simbol-simbol yang tentunya mempunyai makna filosofi bagi kehidupan manusia. Ada 11 pewahyuan yang diterima oleh ajaran Sapta Darma, yaitu pewahyuan Sujud, Racut, Simbul Pribadi-Wewarah Tujuh-Sesanti, Istilah Tuntunan-Istilah Sanggar, Saudara Dua Belas, Tali Rasa, Tali Tiga Puluh Tiga, Wejangan Dua Belas, Nama Sri Gutama, Agama Sapta Darma dan yang terakhir pewahyuan Tugas Panuntun Agung Sri Gutama.
Sedangkan inti ajaran Sapta Darma sendiri, sebenarnya tidak ubahnya ajaran-ajaran agama lainnya seperti hubungan dengan Tuhan, Nabi (penerima wahyu), sesama manusia dan alam. Ajaran Sapta Darma juga menegakan aspek-aspek itu tetapi ada penegasan disalah satu ajaran (wewarah tujuh) tentang setia pada negara dan kebijakan negara.
Seoarang peserta SPK bertanya tentang poligami, menurut penjelasan pengurusan Sapta Darma pusat bahwa ajaran Sapta Darma tidak membolehkan laki-laki melakukan poligami dan poliandri bagi perempuan, tetapi juga tidak mengenal soal perceraian. Kepemimpinan perempuan juga menjadi tidak masalah dalam ajaran ini, karena penulis wahyu dan peyebar agama ini seorang perempuan, Sri Pawenang.
Sapta Darma hanya satu dari puluhan mungkin ribuan ajaran agama lokal di Indonesia yang masih banyak masalah soal aksesnya sebagai warga negara. Pemerintah Indonesia masih belum mengakui keberadaan ajaran-ajaran agama lokal yang tumbuh dan mengakar dalam masyarakat.
Pemerintah atau negara sepertinya masih lebih “yakin” terhadap agama-agama dan nabi-nabi “import” daripada hal-hal yang tumbuh dan hidup sebagai lokalitas nusantara. Tapi apapun bentuk ritual dan ajaran yang ada di Indonesia, selagi mengajarkan hal-hal yang baik tidak ada alasan pemerintah mendiskriminasikan. Karena itu semua sudah jelas diatur dalam konstitusi di Indonesia, UUD 45. (Hartoyo)