Pesantren Waria: Agama Tanpa Kemanusiaan itu Omong Kosong
Oleh: Adiningtyas Prima*
Ourvoice.or.id –Cerita ini berawal dari kunjungan yang dilakukan oleh peserta Sekolah Pluralisme Kewargaan (SPK) yang diadakan oleh Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadja Mada Yogyakarta. Salah satu kegiatan dalam SPK ini adalah kunjungan ke lembaga-lembaga, termasuk Pondok Pesantren Waria Senin Kamis yang diselenggarakan apda tanggal 14 Pebruari 2013.
Sesampainya di Pondok Pesantren Waria “Senin-Kamis”, kami diterima oleh Ibu Mariani, sebagai pendiri, kemudian ada Inez dan Ruly. Ibu Mariani mengatakan bahwa ponpes ini didirikan untuk mengingatkan teman-teman waria agar tetap melaksanakan ibadah kepada Tuhan YME. Karena manusia diciptakan untuk beribadah, apapun kondisi manusia tersebut. Tidak terkecuali dengan waria. Walaupun Waria sering mendapat stigma buruk, karena tidak berada di posisi laki-laki ataupun perempuan, tetaplah waria itu sebagai manusia. Setiap manusia mempunyai hak untuk berKetuhanan dan beribadah sesuai keyakinan masing-masing. Sehingga ini menjadi penyemangat bagi Ibu Mariani untuk terus mengingatkan teman-teman sesama waria agar kembali ke Tuhannya.
Pada awalnya, banyak sekali tantangan yang dihadapi Ibu Mariani ketika mengajak para waria. Ada yang merasa dirinya belum siap, ada yang acuh dan sebagainya. tapi hal kini tidak menyurutkan langkah Ibu Mariani untuk selalu mengingatkan teman-teman waria ke dalam hal kebaikan. Ibu Mariani, merupakan seorang waria yang dulunya hidup di jalanan. Sejak kecil, diusir dari keluarganya, kemudian diadopsi oleh seorang Pastor, sehingga dia beragama Khatolik. Ketika beranjak dewasa, Ibu Mariani memutuskan untuk beragama Islam.
Perjalanan spiritual yang hebat sekali, saya pikir. Dia sempat “mangkal” di sebuah tempat, tetapi karena beliau memang punya motivasi belajar dan ingin berubah, akhirnya beliau merasa menemukan “jalan”. Ibu Mariani belajar merias dan membuka usaha salon, sehingga bisa mencukupi kehidupannya sendiri. Dan pada tahun 2008, Ibu Mariani mendirikan Pondok Pesantren Waria dan mengadopsi anak.
Jangan membayangkan Pondok Pesantren Waria ini seperti pondok besar lainnya yang bisa menampung ratusan umat. Pondok Pesantren Waria ini berdiri di atas rumah kontrakan, di sebuah gang kecil di Jogjakarta. Pondok ini lebih tepat disebut tempat berkumpul dan mengaji dari para waria di Jogjakarta. Ponpes ini melakukan pengajian rutin setiap hari senin dan kamis. Jadwal mengaji dilakukan dari pukul 17.00 hingga esok harinya pukul 05.00. agenda pengajian itu adalah sholawat nariyah, sholat Maghrib, baca Al Fatihah 100x, sholat Isya, materi bacaan doa sehari-hari, solat Hajat, Tahajud dan solat Subuh. Setelah itu teman-teman waria bisa pulang dan beraktivitas kembali.
Dalam hal ibadah, teman-teman waria memang lebih memilih di urusan keyakinan hati. Jika memang keyakinan yang diambil adalah sebagai perempuan, maka mereka beribadah menggunakan mukena, begitupun sebaliknya. Yang terpenting, mereka bisa beribadah sesuai keyakinannya.
Selain Ibu Mariani, ada Ibu Rully, seorang Waria asal Makasar, yang sekarang tinggal di Jogjakarta. Ibu Rully ini sempat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di tahun 1979, dan ditempatkan menjadi guru Sekolah Dasar (SD) di Nusa Tenggara Timur (NTT). Saat mengajar itu, Ibu Rully sudah coming out (terbuka) sebagai waria. Dia tidak menggunakan pakaian PNS, tetapi menggunakan kebaya ketika dia mengajar.
Awalnya, banyak sekali cemoohan bahkan ratusan teguran yang dia dapatkan. Tetapi, karena Ibu Rully acuh saja, maka lama-lama atasan Ibu Rully akhirnya membiarkan. Karena panggilan hati untuk berjuang demi teman-teman waria, Ibu Rully meninggalkan pekerjaannya sebagai PNS, dan memilih menjadi aktivis pejuang Waria. Ketika Ibu Rully mengajukan pengunduran diri, Kepala Dinas Pendidikan setempat sempat menolak surat pengunduran dirinya. Tetapi karena keinginannya yang kuat, akhirnya Ibu Rully melepaskan juga pekerjaannya sebagai PNS.
Berbeda dengan Waria lainnya, Ibu Rully mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi. Dia lulus sebagai sarjana. Ini juga terlihat dari cara penyampaian yang sistematis, tegas, lugas dan elegan. Banyak teman-teman SPK yang terpesona dan mendorong Ibu Rully untuk menjadi caleg tahun 2014. Dibutuhkan orang cerdas seperti Ibu Rully dalam parlemen. Jumlah waria di Indonesia diperkirakan sebanyak 5 juta orang. Dan ini sudah cukup menjadi dasar agar teman-teman Waria juga punya hak dalam parlemen.
Sayangnya, di Indonesia gender sebagai waria belum diakui, sehingga belum bisa dicatat secara resmi di system administrative Negara. Namun menurut diskusi teman-teman peserta SPK CRCS, mungkin perlu adanya negosiasi internal secara administrative, agar teman-teman Waria lebih diakui. Bisa saja melebur dalam jenis kelamin laki-laki dan perempuan. walaupun memang butuh proses.
Ibu Rully sempat memberikan pandangannya terhadap FPI. Dia tidak pernah menganggap bahwa FPI itu sebagai musuh. (walaupun kita tahu bahwa banyak sekali kasus di media, dimana FPI sering melakukan penyerangan terhadap beberapa kegiatan yang dilaksanakan oleh waria di beberapa kota). Dia beranggapan bahwa FPI itu sama seperti kita, sesama orang Islam. Sama-sama beribadah solat lima waktu, dan sebagainya. Pernyataannya yang tidak tendensius itulah yang membuat saya memberikan pandangan bahwa Ibu Rully ini telah mencapai “kematangan religius”. Bahkan dia tidak pernah membenci kepada orang-orang yang melakukan kekerasan kepada komunitasnya.
Di Ponpes Waria, saya menemukan beberapa foto yaitu Ibu Siti Nuriyah Wahid (istri Gus Dur) dan ada juga ijazah dari salah satu lembaga Ke-Islaman. Beberapa tamu dari luar negeri juga pernah mengunjungi Ponpes Waria. Ibu Mariani pun juga pernah mengunjungi beberapa Negara lain.
Ponpes Waria ini pun berdiri atas inisiatif dari pak (alm) K.H. Amroni, ustad yang aktif dan rutin mengajar pengajian. Awalnya, banyak sekali praduga negative terhadap pak (alm) K.H. Amroni. Banyak yang menganggap bahwa beliau berpacaran dengan waria, doyan laki-laki, dan sebagainya. Tetapi beliau tetap bersikukuh untuk mendampingi pengajian Waria, apapun tantangannya. Tidak hanya mendampingi Waria, beliau juga mempunyai kelompok pengajian dengan anggota tukang becak. Di beberapa kota lain, Ibu Mariani juga menginisiasi adanya pengajian serupa yang dilaksanakan secara cultural. Ada beberapa kota yang juga melaksanakan pengajian.
Baik Ibu Mariani maupun Ibu Rully, mempunyai fokus gerakan yang berbeda bagi komunitas Waria. Jika Ibu Mariani lebih fokus di urusan keagamaan, Ibu Rully lebih fokus di pendampingan dan perjuangan HAM teman-teman waria. Apapun pilihan gerakan mereka, layaknya ini menjadi inspirasi bersama bagi kita untuk bisa berbuat sama bahkan lebih.
Pertama-tama yang harus kita pikirkan adalah bagaimana penerimaan diri kita terhadap teman-teman waria. Terima mereka sebagai bagian dari realitas social di masyarakat. Kedua, jangan membenci waria karena posisi ke-waria-an yang mereka sandang. Hargai waria karena mereka juga bagian dari masyarakat, dan punya hak sebagai warga Negara Indonesia. Ketiga, berikan affirmative action bagi mereka. Misalnya dengan memberikan pekerjaan ataupun aktivitas di program yang kita punya. Dan tentunya banyak hal lain yang bisa kita lakukan bagi mereka.
Waria adalah bagian dari masyarakat dan layaknya memperoleh hak-hak sebagai Warga Negara Indonesia. Yang jelas, apapun jenis kelamin seseorang, orientasi seksual, maupun hal lainnya yang mendasar dari diri orang tersebut, tetaplah manusia itu sebagai makhluk yang butuh kenyamanan dalam berkomunikasi dengan Tuhan penciptanya. Dan inilah yang disebut ibadah hakiki dari seorang manusia kepada Tuhannya. Tidak secara ritual saja, tetapi juga berbicara kemanusiaan.
Mengutip dari Gus Dur, Agama tanpa Kemanusiaan itu Omong Kosong. Begitupun juga dengan Islam (entah apapun agamanya). Mengaku Islam tetapi tidak menjaga harmonisasi antara Hablum Minallah, Hablum Minannaas dan Hablum Minal alam, maka dia belumlah Islam secara kaffah. Banyak hal yang bisa dipelajari dari Ponpes Waria ini. Akan lebih afdhol, jika sekali-kali kita mengikuti pengajian yang diselenggarakan.
*Penulis adalah salah seorang peserta SPK CRCS UGM, yang juga beraktivitas di Aliansi Remaja Independen, sebuah organisasi remaja yang fokus di bidang Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi, Pendidikan dan Ketenagakerjaan. Email yang bisa dihubungi [email protected].