Diskusi Film : Di Balik Sanubari Jakarta
Film ini adalah film advokasi, yang ingin menginformasikan ke masyarakat bahwa lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) itu sama di mata Tuhan, gambaran harassment (pelecehan) akan menguatkan stigma, ungkap Dimas Harry, Pemeran Film Sanubari Jakarta.
Ourvoice.or.id- Sanubari Jakarta adalah kumpulan film pendek bertemakan LGBT, yang diisi oleh sepuluh kisah dan disutradarai oleh sepuluh orang. Our Voice pun memilih film ini untuk ditonton bersama pada Sabtu, 16 Februari 2013 bertempat di sekretariat Our Voice. Tidak lupa Our Voice pun mengundang Dimas Harry, salah satu pemeran, sebagai narasumber diskusi. “Awalnya film ini hanya proyek minum kopi.” ujar Harry, ketika ditanya tentang awal proses ide kreatifnya. Dia kemudian menjelaskan lebih rinci bahwa saat itu Dinda Kanya Dewi, pemeran miss Anggi, meminta Lola Amaria untuk mengajarkannya membuat film, Lola pun bertanya mau buat film apa. kemudian Dinda menjawab bahwa dia ingin membuat tentang film waria. Setelah itu, Lola pun memprediksi bahwa film yang akan dibuat Dinda, durasinya paling hanya sepuluh menit, pertanyaannya mau diputar di mana? Kemudian Lola berinisiatif untuk merangkai film pendek Dinda ini dengan film pendek lain yang berbenang merah sama yakni bertemakan LGBT, maka dipanggillah sutradara lainnya untuk meramaikan film Sanubari Jakarta ini.
Setelah memakan waktu produksi selama satu tahun, film ini pun ditawarkan ke jaringan bioskop nasional. Dan pihak jaringan bioskop nasional menyetujui film Sanubari Jakarta untuk diputar dengan syarat harus lulus sensor dari Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia. Setelah diajukan ke LSF, film ini pun lulus sensor, “Dari 110 menit film ini, hanya 12 detik yang disensor yakni film Lumba-Lumba dan Kentang, adegan yang disensor adalah adegan ciuman, karena menurut LSF adegan ciuman itu hanya boleh dilakukan oleh laki-laki dan perempuan.” ungkap Harry.
Meskipun pemutaran film ini sempat bermasalah di dua kota, yakni Jogjakarta dan Solo, Hary menilai film ini mendapat respon yang cukup baik dari masyarakat,”Hal ini bisa dilihat dari cukup lamanya film ini bertengger di bioskop, yakni sekitar 21 hari dengan penonton sekitar sepuluh sampai duapuluh ribu.” ungkapnya. Ditinjau dari respon media pun Harry menilai film ini mendapat tanggapan positif, setidaknya ada 23 media yang mengulas film ini secara positif, “Bahkan Republika, media yang terkenal garis keras, merespon film ini dengan positif.” lanjutnya. Harry pun menyebutkan bahwa film ini meraih nominasi Film of The Year versi majalah Tempo dan mendapat Piala Maya sebagai Film Omnibus Terbaik.
“Mengapa film ini tidak ada ending-nya? Akhir ceritanya tidak jelas nasib tokoh bagaimana?” tanya Eru, peserta diskusi film ini. Harry mejelaskan bahwa film ini hanya menceritakan apa yang terjadi, “Masalah ending terserah Anda” ungkap Harry. Kemudian Ferry, peserta lain, bertanya bagaimana menentukan susunan cerita dan mengapa. Harry menyampaikan bahwa cara yang digunakan dalam menentukan susunan cerita cukup unik, yaitu diawali dengan melakukan undian, kemudian dievaluasi lagi, ketika masih kurang cocok, diundi lagi. Berdasarkan pengakuan Harry pengundian dilakukan sebanyak dua puluh kali, sampai dirasa pas, “Penyusunan ini berdasar pada ritme penonton agar tidak bosan.” jawabnya. (Gusti Bayu)