Ringkasan Kuliah Umum “Politik Seksualitas” Seri II
Pendidikan Keluarga Masih Dijunjung Tinggi Oleh Gay dan Transjender Indonesia di Belanda-Belgia
Menurut Tanti Noor Said, narasumber kuliah umum II Ourvoice tentang “seksualitas dan politik”, ada tiga institusi yang bertugas sebagai distributor nilai dan norma yakni negara, masyarakat dan keluarga. Dalam distribusi nilai dan norma ada keterkaitan antara kekerabatan (kinship) antara gay Belanda-Belgia dengan gay dan transjender Indonesia dalam menanamkan nilai tersebut.
Dalam kekerabatan ada beberapa nilai dan norma yang dibawa yaitu ideologi seksual, heteronormativitas, maskulinitas seksual prokreasi dan pembagian kerja. Nilai-nilai ini mempengaruhi tidak hanya imigran gay dan transjender Indonesia dalam menjalani kehidupan mereka di Belgia dan Belanda, namun juga pacar bule mereka. Bagaimana pacar bule harus bernegosiasi ketika imigran gay dan transjender Indonesia tetap membawa nilai-nilai tersebut ke dalam hubungannya.
Tanti meyampaikan bahwa keluarga di dalam masyarakat non-Barat memiliki posisi yang sangat penting dalam rangka menginternalisasi norma dan nilai yang ada dalam agama, termasuk jender dan norma seksual. Melalui keluarga dimungkinkan untuk sosialisasi nilai dan norma heteronormativitas karena keluarga di masyarakat non-Barat hubungannya sangat erat. Oleh karena itu, bentuk-bentuk penolakan ataupun ketidak-simpatian keluarga terhadap seseorang yang menganut jender dan seksualitas yang non-heteronormatif menyebabkan kecemasan individu maupun dalam keluarga sendiri. Kecemasan tersebut menimbulkan pembatasan dalam mengekspresikan jender dan seksualitas mereka.
Ada beberapa elemen penting dalam sistem keluarga tradisional di Indonesia yaitu harga diri, komunalisme (bukan berbasis individual), terus munculnya rasa kebanggaan terhadap tanah air. Pendidikan keluarga sangat mengakar kuat pada kelompok gay dan transjender yang tinggal di Belanda-Belgia. Alasan-alasan inilah yang membuat gay atau transjender asal Indonesia sulit mengekspresikan jender dan seksualitas walau sudah menetap di Belanda-Belgia. Rasa takut menjatuhkan harga diri keluarga, perasaan takut mencoreng nama bangsa dan berpikir jika tidak menjadi orang Indonesia seutuhnya jika mempraktekkan seksualitas dan jender mereka.
Agama dalam masyarakat Indonesia menempati posisi yang penting, begitu juga bagi kelompok gay dan transjender yang telah menetap di Belanda-Belgia. Beberapa gay dan transjender yang migrasi ke Belanda dan Belgia kembali masih begitu “taat” dengan agama, baik itu agama awal ataupun pindah agama. Misalnya dengan menjalankan ritual agama mereka, mereka merasa memiliki keluarga sehingga seperti ada rasa keterikatan dengan negara (Indonesia). Beberapa gay dan transjender di Indonesia tetap menjalankan ritual agama, seperti menjalankan sholat lima waktu dan puasa pada bulan Ramadhan. Melalui agama mereka dapat menemukan kembali solidaritas untuk melawan kesepian mereka sebagai imigran.
Tanti memaparkan, upaya dari banyak ahli untuk menyejajarkan dan menguji hubungan agama dan homoseksualitas pada kelompok homoseksual melalui kerangka doktrin dan norma agama dapat membawa ke hasil yang kurang konstruktif. Karena seperti ada “keputus-asaan” dari kelompok gay dan transjender ketika bicara soal homoseksual dalam konteks agama. Seperti ada kesan, biar gay asal tetap beragama, bahkan masih ada kelompok gay dan transjender di Belanda-Belgia merasa bersalah dan tetap akan membangun rumah tangga dengan perempuan.
Sepertinya pergulatan diri gay dan transjender di Indonesia menurut Tanti tidak banyak memberikan pengaruh pada pandangan diri (terhadap identitas gay/transjender) walau sudah menetap di Belanda-Belgia. Itu semua, menurut Tanti karena pola pendidikan keluarga semasa mereka (gay dan transjender) tinggal di Indonesia yang sangat begitu kuat. (Gusti Dan Hartoyo)
Makalah untuk seri kuliah umum “Politik Seksualitas” seri 2 di Ourvoice, 6 Januari 2013, 17.00 WIB bisa diunduh Di sini