Ringkasan Kuliah Umum “Politik Seksualitas” Seri I : Seks Yang Cair Untuk Terus Dinegosiasi
Cairnya Kategori dan Tradisi Seksual di Indonesia dan Ketatnya Pemaknaan dan Praktek Tersebut di Eropa Barat
Antropologi berusaha mempelajari dan fokus terhadap universality atau persamaan dan particularity , kekhususan atau differencess, yaitu perbedaan. Masyarakat yang berbeda, tradisi yang berbeda, tipe manusia yang berbeda, etnis yang berbeda, kelas sosial yang berbeda dan berusaha memperbandingkan dua obyek yang berbeda tersebut.
Itulah sedikit gambaran dasar teori yang disampaikan oleh Tanti Noor Said dalam Kuliah Umum perdana di Ourvoice tentang “Seksualitas Dan Politik”. Kuliah umum ini akan diadakan selama tiga kali pertemuan pada 4, 6 dan 8 Januari 2013 yang semuanya akan dipaparkan oleh narasumber yang sama, Tanti Noor. Pada kuliah pertama (4/1/2013) ini materi yang disampaikan tentang “Cairnya seksualitas manusia di Indonesia dan ketatnya di Eropa Barat”. Acara dihadiri sekitar 20 orang yang terdiri dari mahasiswa, pendeta, aktivis, kelompok lesbian,gay,biseksual dan transgender (LGBT) sendiri.
Menurut Tanti, adanya perbedaan antara perempuan dan laki-laki adalah sebuah fakta, namun bagaimana hal tersebut diimplementasikan dalam masyarakat secara sendiri-sendiri dan tetap menjadi “kekhususannya” itu.
Bahwa jender adalah merupakan hasil sebuah konstruksi sosial, adalah bentuk definisi yang paling “rough atau mentah”. Tentu saja, penjelasan apa itu jender, akan lebih rumit atau complicated daripada sekedar konstruksi sosial.
Dalam bahasa Inggris, ada yang namanya male dan female. Dalam kategori jender man vs woman. Dalam Bahasa Inggris perbedaan ini sangat nyata, Dalam bahasa Indonesia perbedaan antara biologi dan sosial atau jender tidak dibedakan. Jender dikaitkan dengan karakter, perilaku, fungsi dan posisinya dalam masyarakat. Untuk binatang, ada pejantan dan betina, rasanya ini tidak digunakan dalam masyarakat Indonesia. Walau ada beberapa keberagaman penamaan identitas ada di beberapa wilayah nusantara.
Penelitian-penelitian antropologi terbaru, menunjukkan adanya dinamika yang sangat fluid atau cair di dalam hal jender dan seksualitas. Dinamika ini yang ada didalam proses, ada unsur bergerak, bertransformasi didalamnya, unsur yang tidak statis. Karena jender, seperti juga dengan kelas sosial, tidak dapat didefinisikan dengan rigit atau kaku.
Kategori yang digunakan oleh masyarakat barat pada umumnya, seperti lesbian, gay, transjender male bodied and female bodied, adalah usaha untuk mensimplifikasi atau menyederhanakan pengkategorisasian. Karena hal ini mempermudah untuk mengidentifikasi dan memberikan definisi terhadap kelompok minoritas, yang dianggap menyimpang dari heteronormativitas.
Indonesia, dulunya sangat lentur dan permisif terhadap tradisi-tradisi homoseksualitas ataupun keberagaman seksualitas. Di nusantara keberagaman seksualitas tidak memerlukan kategori yang mengarah pada kelainan, karena memang sesuatu yang biasa sama halnya dengan heteroseksualitas lainnya. Misalnya budaya Warok,Bissu,Ludruk,Mairil sesuatu yang dianggap hal yang biasa bahkan mendapatkan tempat dalam masyarakat. Tetapi sampai adanya pengaruh dari luar (agama maupun penjajah) yang membawa “aturan” ke bumi Nusantara yang memberikan pengaruh pada nilai yang dibangun pada soal seksualitas
Pendoktrinan ajaran agama adalah juga sebuah prinsip kolonisasi, sesuatu yang dianggap tidak benar maka harus diluruskan. Penjajah pada saat itu melihat tradisi-tradisi masyarakat Nusantara sebagai keterbelakangan, maka, “mereka” harus dimodernkan. Padahal kata modern juga mengandung relativisme, modern menurut siapa? , ungap Tanti.
Tanti menegaskan bahwa identitas jender bukanlah sesuatu yang statis dan stabil. Identitas jender merupakan hasil negosiasi antara self (diri pribadi) dan orang disekeliling, yang berkaitan dengan norma-norma dan ideologi seksual di sebuah lingkungan, kelas social, agama, sistem kekerabatan dan politk.
Dalam ruang negosiasi ini maka sangat memungkinkan sekali dapat terjadi switch back and forth (bertukar). Pergantian atau pertukaran yang dimaksudkan untuk tujuan adaptasi dalam ruang publik sehingga individu dapat survive (bertahan) hidup.
Tapi sayangnya pertukaran yang semestinya sebagai sesuatu yang “alamiah” dalam sebuah kebudayaan masyarakat menjadi konflik yang pada titik paling mengerikan dapat menghilangkan hak dasar manusia. Inilah yang masih terjadi di Indonesia sampai sekarang bagi kelompok LGBT. Tetapi pertukaran atau negosiasi harus terus dilakukan oleh kelompok LGBT kepada publik ataupun sebaliknya. Inilah yang dinamakan bagian dari perjuangan. (Teguh Dan Hartoyo)
Pemakalah: Tanti Noor Said, Meyelesaikan Sarjana di jurusan Antropologi Sosial, Universitas Indonesia (2004). Pada 2012, menyelesaikan S2 di Universiteit van Amsterdam dengan thesis: “ Transnational love, migration and kinship: Gay and transgender Indonesians in the Netherlands and Belgium” . Di tahun yang sama, di Nanterre University, Paris mempresentasi sebuah paper dengan judul “Gay and transgender Indonesia, The Uncertainty of category”. Sekarang Tanti menetap di Belanda.
Makalah untuk seri kuliah umum “Politik Seksualitas” seri 1 di Ourvoice, 4 Januari 2013, 17.00 WIB bisa diunduh Disini