Kolor, Keadilan Dan Dédé Oetomo

Foto: Yatna Pelangi

Ourvoice.or.id – Diskriminasi dan tindak kekerasan menjadi makanan sehari-hari kelompok lesbian, gay, biseksual/transgender (LGBT) bukan hanya dialami oleh para gay dan waria yang bermigrasi ke Belgia dan Belanda tapi juga sudah seperti bonus harian yang kerap kali diterima oleh LGBT di Indonesia tercinta ini.

Rintik hujan yang tak mau berhenti bukanlah menjadi halangan untuk kami melanjutkan kuliah umum (Kulum) sesi pamungkas pada selasa, 8 Januari 2013. Jika pada dua pertemuan sebelumnya saya tidak berhasil memboyong aktifis LGBT, kali ini saya cukup senang karena dua sahabat saya yang giat menyuarakan hak-hak LGBT datang juga, Mr King Oey dari Arus Pelangi dan Miss Luluk dari Sanggar Waria Remaja (SWARA). Selain itu juga dihadiri 18 peserta lainnya yang datang dari penjuru Jakarta, mahasiswa, umum maupun aktivis perempuan. Selain tentunya relawan dan staff Ourvoice.

Tepat pukul 17.00, Kulum dimulai. Luna Mayat (Widodo), seorang gender blender relawan Ourvoice menjadi moderator sore itu. Sedikit intermezo tentang Luna Mayat. (saya tidak akan menjelaskan latar belakang kenapa Widodo nyaman menggunakan nama Luna Mayat, tapi saya akan coba jelaskan kenapa ia suka dengan istilah gender blender).

Luna Mayat tidak nyaman dilebeli/dikatakan gay, padahal ia suka sesama jenis, dan ia juga tidak nyaman dilebeli waria hanya karena ia suka bersolek dan mengenakan “atribut” perempuan. Alasannya cukup sedehana bahwa ia tidak suka orang seenak jidat memberikan dan menempelkan label pada dirinya.   Baginya pelebelan merupakan hegemoni (penjajahan) terhadap tubuh yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Pelabelan/kategorisasi kerap kali dilakukan sepihak tanpa adanya konfirmasi dan dialog dengan orang yang diberi label tersebut. Topik tentang ini bisa dibaca pada makalah pertemuan pertama “Cairnya Kategori dan Tradisi Seksual di Indonesia dan Ketatnya Pemaknaan dan Praktek tersebut di Eropa Barat.

Makalah berjudul!” Heteronormatifitas di Indonesia dan Politik Rasisme di Belanda dan Belgia : Sebuah Studi terhadap Para Gay dan Transgender Migran Indonesia”, adalah makalah ketiga sekaligus makalah terakhir yang dipresentasikan oleh Tanti Noor Said pada rangkain Kulum Sex di Ourvoice, 4,6 dan 8 Januari 2013.

Pada makalah terakhir yang berjumlah 14 halaman, Tanti menuliskan bahwa “mimpi” para gay dan waria yang menjadi informanya tidaklah seindah kenyataan. Diskriminasi dan rasisme merupakan benturan yang tidak bisa dihindarkan, walaupun tidak semua orang Eropa menanamkan nilai-nilai tersebut. Tapi apa yang mereka lihat dilayar kaca dan layar lebar bagaikan semur jengkol dengan pizza, sungguh jauh berbeda.  Berikut Ini refleksi saya setelah mengikuti kuliah umum “Politik dan Seksulitas” yang saya beri tajuk ” Kolor, Keadilan dan Dede Oetomo”.

Semua berawal dari kolor
Jika kita membicarakan homoseksual di Republik ini, sama saja kita membicarakann kolor, tabu. Namun  ketika isu homoseksual diangkat oleh media menjadi sebuah pemberitaan semua angkat bicara, sebagian sarjana hingga pemuka agama mengatakan homoseksual merupakan “penyimpangan/ganguan kejiwaan”, dan bahkan ada psikolog yang hingga kini tetap mengatakan bahwa homoseksual merupakan penyimpangan.

Padahal pada tahun 1973 Asosiasi Psikiater Amerika Serikat telah menyatakan bahwa homoseksual bukanlah gangguan kejiwaan/penyimpangan. Pada tahun 1975 Badan Kesehatan Dunia (WHO) dibawah Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan “fatwa” yang menyatakan homoseksual bukanlah cacat mental atau bukan penyakit. Kemudian pada 1990 para ahli kejiwaan di Indonesia telah sepakat mengeluarkan homoseksualitas sebagai bagian penyakit kejiwaan.

Bahkan ada yang lebih mengerikan, ada kelompok-kelompok tertentu jika membicarakan homoseksual langsung angkat senjata. Parahnya lagi adalah ketika kekerasan terjadi pada kelompok homoseksual, para penguasa termasuk aparat penegak hukum “seolah” tak mendengar jeritan suara korban, mereka hanya berpangku tangan dan cenderung membiarkan.

Contoh kasus yang masih lekat didalam ingatan saya adalah sebuah tragedi penyerangan yang terjadi pada November 2000, di Kaliurang, Yogyakarta. Ketika itu komunitas gay melakukan sosialisasi kesehatan mengenai isu HIV dan AIDS dengan mengelar acara pentas seni, tiba-tiba segerombolan orang tak dikenal dengan mengendari’i sepeda motor sambil melantumkan mantra-mantra dari negeri Arab mereka langsung masuk menyelusup ketengah-tengah acara dengan membuat kerusuhan dan keonaran. Kepanikanpun terjadi,  seluruh pengunjung, panitia dan pengisi acara mengambil langkah seribu untuk menghindari aksi kebrutalan yang terjadi pada kala itu.

Menurut cerita salah satu korban yang saat itu berada ditempat kejadian, kolong tempat tidur, almari baju, kamar mandi, toilet jadi tempat persembunyian para peserta. Dan bahkan ada yang melompat dari jendela kamar dan kemudian bersembunyi dipinggir jurang hingga matahari terbit.

Kekerasan berbasis orientasi seksual tidak berhenti sampai disitu, pada 2012 lalu Kegiatan seni budaya yang diadakan oleh Forum Komunikasi Waria, Jakarta dibubarkan secara paksa, alasan pembubaran katanya kegiatan tersebut tidak memiliki izin, padahal menurut panitia kegiatan tersebut sudah mengantongi izin.

Tidak cukup sampai disitu, negara yang mestinya melindungi LGBT justru memuluskan lahirnya peraturan daerah (PERDA) diskriminatif yang mencantumkan homoseksual dalam kategori perbuatan cabul dan pelacuran. Perda tersebut diantaranya : Perda Propinsi Sumatra Selatan No 3 Tahun 2002 tentang pemberantasan maksiat di Propinsi Sumatra Selatan. Perda ini mengkriminalisasikan kelompok LGBT dengan mengkategorikan kelompok LGBT sebagai bagian dari perbuatan pelacuran. Perda Kota Palembang No 2 Tahun 2004, Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 atau lebih dikenal dengan Perda TIBUM, dan masih banyak lagi peraturan yang berusaha memasung hak-hak LGBT dibumi Pancasila, yang katanya mengakui keberagaman.

Sungguh ironis memang, disatu sisi pemerintah dengan semangat juang yang tinggi berupaya menegakkan HAM, namun diwaktu yang bersamaan justru pemerintah melahirkan kebijakan-kebijakan yang memasung HAM.

Padahal ketika saya duduk di Sekolah Dasar sudah diperkenalkan sebuah Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pada pasal 28 yang sangat jelas memberikan perlindungan tentang hak-hak ekonomi, sosial, politik dan budaya bagi semua rakyatnya tanpa diskriminasi. Tapi pada kenyataanya jauh panggang dari api, seperti pepesan kosong belaka. Terlihat indah diluar tapi didalamnya kosong.

Bahkan sampai detik ini saya tidak pernah merasa aman ketika hendak melakukan kegiatan bersama komunitas LGBT.  Sepertinya negara lebih “toleran” terhadap koruptor dan para pelaku kekerasan daripada terhadap kelompok homoseksual yang secara sah membayar pajak untuk negeri ini. Apakah mungkin para koruptor dan pelaku kekerasan heteroseksual?

Keadilan?
Bagi kawan-kawan yang lahir, tumbuh dan besar di Republik Ini pasti sudah akrab dengan mantra berikut “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” sebuah mantra yang ada didalam perut burung Garuda, yaitu sila kelima dalam Pancasila. Terbaca begitu indah dan romantic dan bila membicarakan tentang keadilan saya sangat setuju bahwa keadilan tidak datang dari dalam kolor, tapi ia harus diperjuangkan…pretttt.

Keadilan telah mati bagi LGBT

Foto: Yatna Pelangi

Sebenarnya semua berawal dari sebuah keindahan yang berbalut rasa bangga. Ditahun 2012 tokoh gay yang saya kagumi Dede Oetomo Ph.D. mencalonkan menjadi anggota Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).  Sepuluh tahun saya menanti adanya tokoh gay yang duduk diruang publik, dan mimpi itu akhirnya terwujud juga, tahap demi tahap sudah dilalui dengan langkah pasti dan optimis. Hingga mengantarkan Mas Dede pada babak akhir penentuan yaitu di Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

Walau saya dan kawan-kawan aktifis LGBT sempat was-was namun semua itu kami kesampingkan dengan melihat begitu banyak pengalamannya. Diantaranya : sebagai staf pengajar di Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Airlangga Surabaya, juga telah menyelesaikan studi Doktornya dalam bidang linguistik di Cornel University, New York, Amerika Serikat. Dalam bidang organisasi beliau juga merupakan salah satu pendiri organisasi (Lamda Indonesia, dan Gaya Nusantara -1982). Beberapa penghargaan tingkat dunia dari organisasi yang bergerak dibidang hak asasi manusia sempat mendarat ditanganya, yaitu Felipe de Souza Award dari Internastional Gay and Lesbian Human Right, dan pada tahun 1998 mendapatkan Utopian Award. Bagi kami ini modal yang cukup untuk bersaing dengan kandidat lain untuk memperebutkan kursi Anggota Komisioner Komnas HAM periode 2012-2017.

Hingga akhirnya…saya mendengar kabar Mas Dede tidak lolos, ia hanya mendapatkan satu suara dari anggota DPR RI. Saat itu tubuh saya bergetar, hati saya remuk redam bercampur geram, hingga tak terasa air mata mengalir deras membasahi pipi.

“Anjinggg…Bangsatttt”, saya mencaci maki dalam hati menanggung kekecewaan akan ketidakadilan yang terus menimpa komunitas kami, LGBT.

Saat mendengar berita kegagalan Mas Dede, ingin rasanya saya memeluknya dengan erat, sambil menghujat….”Bangsatttt…Bangsattt…berkali-kali”. Dengan sambil berbisik lirih “ Aku Patah Arang Mas…penantian panjangku sirna. Sepuluh tahun atau bahkan lebih dari itu mengkin baru ada seorang gay yang bisa sepertimu memasang badan memperjuangkan hak-hak LGBT hingga ke rumah rakyat ini”.

Mungkin dialog yang saya tuliskan terbaca seperti alay, tapi itulah kata hati saya yang tak sempat saya bisikan ditelinga Mas Dede. Kini harapan saya bagaikan kaca pecah seribu, jatuh berderai ditanah yang berbatu.

Masih tersimpan dengan rapi didalam memori saya ada yang mengatakan ” Ayooo… para LGBT rebut donk ruang publik, tunjukan visibilitas kalian”. Saya lupa siapa yang mengatakan ini, tapi melalui tulisan ini saya ingin menjawab ” perjuangan sudah kami lakukan bos” tapi hasilnya…nilai-nilai heteronormatifitas berbalut agama sudah menjalar dan mengakar bung, jadi…tak ada harapan lagi”.

Hingga sampailah tulisan ini pada alinea terakhir, kata heteronormatifitas berbalut norma agama sering muncul dalam refleksi Kulum “Politik dan Seksulitas” yang saya alami. Ini bukan karena saya heterophobia (membenci kelompok heteroseksual). Ini karena saya merasa pentingnya ruang dialog tanpa otot mempertanyakan sampai kapankah nilai-nilai heteronormatifitas berbalut agama tetap dipertahankan di Republik yang begitu beragam budaya dan etnis ini? Salam Keberagaman. (Yatna Pelangi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *