Diskusi Film : Cin(T)A Buat Yang Beda Jadi Satu
Mengapa Tuhan menciptakan kita berbeda jika Dia ingin disembah hanya dengan satu cara?, tanya Samaria Simanjuntak, Produser film Cin(T)A.
Ourvoice.or.id- Selain cinta sesama jenis ada cinta lain yang dianggap terlarang oleh undang undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 yaitu cinta beda agama. Di mana perkawinan dianggap sah bila sesuai dengan hukum hukum agama yang dianutnya. Minggu, 27 Januari 2013, Ourvoice mengadakan diskusi bertemakan cinta beda agama dan nonton bareng film Cin(T)A. hadir pula dua orang narasumber dalam diskusi kali ini, Samaria Simanjuntak selaku produser film Cin(T)A dan Ahmad Habir, seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga beda agama.
“Dibesarkan dalam keluarga yang berbeda agama saya menjadi orang yang bisa memahami perbedaan.” ungkap Habir dalam sesi diskusi. Meskipun begitu Habir tidak memungkiri bahwa pernah ada dilema dalam pencarian kebenarannya akan agama, ada kekhawatiran akan keselamatan sang ayah, yang berbeda agama dengannya, di alam akhirat nanti. Namun, seiring perjalanan waktu, Habir pun mulai tidak mempermasalahkan itu.
“Film Cin(T)A adalah film yang jujur” ujar Samaria Simanjuntak. Karena film ini mewakili kegelisahan Samaria perihal agama dalam berbagai aspek ditambah lagi pengalam cintanya selalu dengan orang yang berbeda agama. Saat itu, yang ada di pikiran Samaria adalah dia harus buat film ini. Meskipun tidak ada produser yang mau membiayai, dia pun mengambil jalur independen, memproduksi dengan biaya sendiri. Samaria pun mengakui bahwa Film Cin(T)A merupakan wahana pembelajaran dia dan juga kru lainnya dalam membuat film. Tidak hanya itu, dia merasa lebih tercerahkan setelah membuat film ini. “Kalau dulu ditanya tentang pernikahan beda agama, gue berusaha memberikan jwaban yang membuat semua orang senang, tetapi sekarang ketika gue ditanya tentang boleh atau enggak pernikahan beda agama, gue langsung jawab..Boleh!”
“Memang ada kekhawatiran bila pernikahan beda agama dibolehkan maka akan ada orang yang pindah agama” ungkap Habir. Memang seringkali agama dijadikan produk multi level marketing yang memberikan tugas pada umatnya untuk menjaring orang sebanyak banyaknya, bahkan pemimpin salah satu partai agama pun ketakutan ketika populasi umatnya mengalami penurunan. (sumber ; http://koranbogor.com/2012/06/25/populasi-umat-islam-di-indonesia-terus-menurun/)
Samaria melihat ada kencendrungan bahwa semakin seseorang berpendidikan tinggi maka orang itu semakin tidak toleran dan pluralis. Samaria mengambil contoh, seorang ustadz kampung yang tidak berpendidikan tinggi tapi penuh kasih, sangat baik padanya meskipun dia berbeda agama, anjing saja diberikan makan oleh ustadz tersebut. “Orang akan lebih toleran dan lebih pluralis ketika orang menggunakan hatinya bukan otaknya.” Simpul Samaria. (Gusti Bayu)