Waria Struktural | OurVoice
Ourvoice.or.id. Salah satu sumber inspirasi novel saya, Taman Api, adalah Yulianus Rettoblaut. Dia aktivis waria yang pada suatu malam enam-tujuh tahun lalu di suatu komunitas budaya mengungkap jatuh-bangunnya mendaftarkan diri dan diseleksi sebagai komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan gagal. Berbagai isu aktual tentang waria memang menjadi inspirasi novel tersebut, termasuk pemilihan Putri Waria Indonesia 2007, juga pertunjukan Kabaret Show, yang saya tonton di Thailand pada 2007. Secara global, inspirasi novel itu memang berasal dari survei primer di lapangan dengan mengamati kehidupan mereka, investigasi dan interaksi, serta survei sekunder dari berbagai media, seperti majalah, koran, buku, dan Internet. Semua survei secara langsung dan tak langsung dalam waktu lama ini begitu mudah mendapatkan hasil. Hampir di semua daerah yang tanahnya saya jejaki dapat saya jumpai waria, terutama waria pengamen jalanan. Ternyata mereka ada di banyak bidang kehidupan, entertainmen televisi, salon kecantikan, taman malam, lokalisasi, dan sangat terasa bila bertetangga, berteman, atau bersaudara dengan waria. Dunia waria makin terbuka lebar saat saya masuk Internet. Di berbagai belahan dunia, kaum jenis kelamin ketiga ini mendapat tempat lebih luas di masyarakat terhormat! Begitu mudahnya mendapat gambaran kehidupan waria ini merupakan indikasi dunia waria tak terpisahkan dari masyarakat, dan masalah-masalah mereka pasti berpengaruh pada kelompok masyarakat lain. Dari berbagai catatan sejarah, keberadaan kaum waria sama tuanya dengan keberadaan manusia sendiri. Meski peristiwa Sodom Gomora di era Nabi Lot (Luth) lebih merujuk pada kaum homoseksual, logis di sana termasuk waria, mengingat perilaku kaum homo hampir selalu melibatkan penampilan pria sebagai wanita alias waria. Dalam ‘Perjanjian Baru’, Paulus mengatakan tidak ada tempat di surga bagi kaum waria dan pemburit. Pada era Yunani kuno, sudah dikenal mitos Hermaprodit sebagai sosok berkelamin primer lelaki tapi berkelamin sekunder dan berpenampilan wanita. Pada masyarakat Konghucu dikenal Dewi Kwan Im. Di masyarakat bissu Makassar, kaum waria terpilih merupakan mediator suci antara manusia dan Tuhan. Seperti di Jepang dengan kesenian kabuki, tradisi pemain waria pada kesenian ludruk Jawa Timur merupakan bukti valid keberadaan waria di Jawa-Indonesia. Latar belakang budaya dan keyakinan jelas berpengaruh kuat. Katoey di Thailand diterima lantaran pengesahan Raja berlatar Buddhisme yang lebih mengutamakan darma, dan nyata-nyata sistem ini mendongkrak bisnis pariwisata. Di Barat yang liberal, sistem masyarakatnya berlandaskan berbagai filsafat, termasuk pluralisme serta lesbian, gay, biseksual, dan transgender—meski juga ada kalangan yang menolak- mendapat tempat nyaman, dengan salah satu indikasi di Polandia, November 2011, waria Anna Grodzka dilantik menjadi anggota parlemen. Banyak lagi sosok waria di berbagai belahan dunia berprofesi secara formal dan terhormat. Lagi-lagi, ketika masuk wacana di Indonesia, seperti banyak bidang lain (seperti korupsi), kondisinya berbanding terbalik. Meski Yulianus dan Merlyn Sofyan (Putri Waria 2006) adalah sarjana dari universitas ternama, di Indonesia secara umum waria menempati kelas masyarakat bawah. Lebih terkonsentrasi pada profesi-profesi kultural, seperti salon, penghibur, atau aktivis HIV/AIDS, bukan berprofesi secara formal struktural lebih ‘terpandang’, tidak terdengar yang menjadi pegawai negeri, posisi penting di perusahaan, dan lain-lain. Kalau ada yang bekerja di profesi ‘terhormat’ itu, lebih bersifat sembunyi-sembunyi, saat kerja berpenampilan pria tapi di luar itu terserah dia, minimal cross-dresser atau homoseksual. Soal resistensi masyarakat, jelas di ingatan kita pada 2010 seminar waria Indonesia di Depok dibubarkan oleh Front Pembela Islam. Yang paling berpengaruh dari masalah waria tentu saja masalah sosial yang menyangkut hubungan dengan masyarakat lain. Masalah sosial dipengaruhi oleh masalah kesehatan yang ditimbulkan (seperti penyebaran HIV/AIDS, yang sesungguhnya tak cuma oleh waria, tapi juga oleh siapa pun dan media tertentu yang lain), perilaku beragama, dan kepribadian. Masalah kesehatan, perilaku beragama, dan kepribadian pada dasarnya bersifat subyektif. Semua orang berpotensi sama untuk menjadi jahat atau menjadi baik berdasarkan ‘pilihan’ masing-masing individu, bukan kelompok. Orang berlabel agama suci pun berpotensi munafik, korup, sadistis, kejam, dan cabul! Tentu kaum waria juga demikian, dalam hubungan sosial tentu berpulang pada masing-masing individu. Berdasarkan kaidah relativitas dan kenyataan bahwa keberadaan waria adalah keniscayaan belaka, sebagaimana keberadaan korupsi, perzinaan di daerah syariat agama sekalipun, atau kebijakan-kebijakan banci di pelaku pemerintahan dan banyak bidang kehidupan masyarakat itu, sesungguhnya yang kita perlukan adalah hadir bersama dari kelompok mana pun yang ada tanpa konflik asimilasi yang mayoritas mendominasi dan menindas kelompok minoritas. Inisiatif kaum waria punya komisioner di Komnas HAM dan berbagai kehidupan lain yang lebih formal dan terhormat sesungguhnya juga keniscayaan. Tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan tersistemnya kehidupan alternatif ini bila kita ikhlas masyarakat tumbuh dewasa berdasarkan kesadaran diri pribadi, bukan paksaan. Apa pun yang bersifat paksaan bakal mendatangkan bencana. Percayalah. Percayalah pula, waria juga manusia biasa, sebagaimana pejabat dan koruptor, ulama dan penzina. Tegakkan hukum yang menyangkut hal-hal yang merugikan orang lain, bukan hal yang ‘relatif’ soal surga, lantaran kita hidup di bumi. *) Yonathan Rahardjo adalah dokter hewan dan novelis. Sumber : http://news.detik.com