Kisah Sabina, salah satu Waria di Taman Lawang

Ilustrasi (Foto: Agung Manunggal/okezone)

Ourvoice.or.id. “Perempuan” itu berjuang keluar dari tubuh laki-laki. Sepanjang hidup menghadapi diskriminasi, tak luput juga sering diperhadapkan dengan caci maki, ada yang dapat menerima mereka adapula yang   tak menerima keberadaan mereka,  “Waria” begitulah biasa mereka menyebutnya.

Seseorang yang dilahirkan dengan jenis kelamin pria tapi memilih untuk menjadi wanita karena mereka merasa naluri keperempuanannya lebih kuat, dan mereka menyukai itu. Ada sebagian yang hanya gayanya saja seperti perempuan tapi  style berpakaiannya tetap seperti pria pada umumnya, ada juga yang merubah semua penampilannya menjadi serupa dengan kaum hawa, baik dalam berpakaiannya, kebiasaannya, cara berbicara, cara berjalan, bahkan tak sedikit dari antara mereka yang sampai mengoperasi kelamin menjadi wanita.
Tepat pukul 11 malam, saya dan teman-teman yang mengambil mata kuliah Fotografi datang ke TKP, lokasi tempat para waria biasa berkumpul. Ya, Taman Lawanglah tempat kalian bisa temukan komunitas mereka, sepanjang jalan banyak sekali yang mejeng, berpose, melambai-lambaikan tangan mereka untuk menarik perhatian kaum pria, siapa tahu ada yang berminat menggunakan jasa mereka/mungkin cuma sekedar membagikan rejeki mereka.
Saya bersama teman-teman saya segera menjumpai target kita untuk wawancara kali ini, sesuai dengan janji yang telah kita sepakati ditelepon beberapa hari yang lalu. Dalam kesempatan kali ini, nara sumber kita akan mencoba untuk membagi pengalaman dan perasaan yang mereka alami sebagai seorang waria.
Sabina , begitu ia dipanggil, menggenakan gaun hitam sedikit mini hingga memperlihatkan belahan dadanya, dengan bau parfumnya yang khas yang tidak pernah saya dapati sebelumnya, senyumnya yang ramah terlihat sangat bersahabat  menyapa kami dengan hangat.Ada rasa deg-degan sebelum bertemu dengan Sabina, karena ini adalah pengalaman pertama saya bertemu dengan waria apalagi harus , menanyakan seluk beluk kehidupannya. Dalam benak beberapa jam yang lalu, terbayang kalau seorang waria itu pasti agaknya akan kurang bersahabat dengan kaum wanita, mungkin karena ia takut merasa disaingi atau apalah. Tapi, begitu saya bertemu Sabina semua imajinasi-imajinasi saya yang buruk-buruk itu seolah hilang begitu saja.
Sejak dilahirkan, mereka tidak pernah merasa diri mereka sebagai seorang pria walaupun secara fisik mereka memiliki bentuk tubuh layaknya seorang pria. Benar-benar suatu beban yang luar biasa beratnya yang harus mereka tangung dalam kehidupan mereka.
Kami bersantai di trotoar jalan sambil basa-basi sebelum berbicara ke hal yang lebih serius, sekedar untuk mencairkan suasana. Begitu banyak mobil bahkan truk yang lalu lalang hingga menghantarkan debu mampir kemuka kita, tapi tak jadi penghalang buat kami untuk berbincang-bincang seputar kehidupan Sabina yang ternyata merupakan salah satu peserta acara “Be a Man”.
Kalau kalian bertanya-tanya acara apakah itu, saya bisa menjelaskannya sedikit. Jadi, Be a  Man adalah acara dimana para waria dikumpulkan dan dikarantina untuk mengikuti serangkaian acara yang akan memacu  sifat kepriaan mereka, acara ini tayangkan  di Trans 7.
Kembali pada Sabina. Sabina, merasa lebih tertarik pada sesama pria dan menyukai dengan penampilan dan gaya hidupnya sekarang ini, tak ada sedikitpun rasa malu, kurang percaya diri atau menyesal terlihat dalam wajahnya saat saya melakukan wawancara di arena Taman Lawang, Menteng, Jakarta Pusat. Baginya setelah ia memutuskan untuk lebih memilih menjadi seorang wanita, itu adalah kehidupan barunya “the new life” yang harus ia syukuri. Ia tidak pernah merasa malu akan keadaannya saat ini, sekalipun ketika ia bertemu dengan teman-teman sekolahnya.
Semua bermula ketika ia menginjak usia remaja. Masa pubertas mulai menyadarkan dirinya memang berbeda dari teman-teman sepermainan. Bibit cinta terhadap kaum Adam perlahan tumbuh di hatinya saat ia mulai memasuki bangku SMA.
Sabina mulai memperluas pergaulannya dan mengambil keputusan untuk mencoba mengadu nasib ke Ibu Kota Jakarta pada tahun 2002. Awanya dia datang ke Jakarta bersama kakaknya, namun sejak kakaknya menikah, ia pun mau tak mau harus menjalani hari-harinya dengan mandiri. Ia kini tinggal dikawasan Kuningan, tidak jauh dari tempat mangkalnya sehari-hari.
Perantau dari padang ini, mulai mengenal banyak waria lain dari berbagai komunitas. Kehidupan malam pelan-pelan mulai diakrabinya. Ia  terpaksa turun ke jalan menjadi pekerja sex hanya semata karena tuntutan kebutuhan untuk bisa tetap bertahan hidup. Itu bukan karena hasrat seksual dan keingginan mereka untuk having fun. Kalau hanya mengejar nafsu, toh kaum seperti mereka itu tidak akan menarik bayaran. Nyatanya para waria yang turun ke jalan sebagai pekerja sex hampir seluruhnya menarik bayaran.
Demi mencukupi kebutuhan sehari-harinya, ia pun turut mangkal bersama teman-temannya di Taman Lawang. Dia menyebut tempat itu sebagai kawasan “G-Spot”, tempat para waria berkumpul dan berinteraksi.
Nggak semua waria yang ada di Taman Lawang tujuannya melulu uang..” katanya. “Banyak juga yang yang cuma pengen mengekspresikan diri atau sekedar ngobrol-ngobrol dengan teman senasibnya.
Biasanya Sabina mulai bekerja sebagai penjaja sex pada pukul 22.00 sampai 03.00 dini hari. Bayaran yang ia dapatkan setiap hari bisa Rp 50.000 hingga ratusan ribu rupiah, namun tak jarang ia seharian tak dapat uang sepeserpun.  Menurutnya, kalau lagi ramai-ramainya ia dapat pelanggan, gaji sebulannya bisa melebihi gaji Pegawai Negeri/Karyawan kantoran, tapi kalau lagi sepi terpaksa jatah dia untuk makan dikurangi.
“Itulah nasib yang harus ia hadapi karena hidup itu seperti roda yang berputar kadang kita diatas kadang bisa dibawah”
Uang yang ia dapatkan dari hasil mangkal biasa ia habiskan untuk memenuhi keperluannya, yang pasti keperluan utamanya adalah untuk mencari sesuap nasi, sisanya dia gunakan untuk membayar kontrakan rumah dan make-up, kalau ada kelebihan uang ia sering mengirimkan ke orangtuanya di kampung.
Sabina mencari uang tidak hanya dengan mangkal di Taman Lawang, ia juga free lancemerias wajah orang. Kalau lagi ada tawaran merias, biasanya Sabina tidak mangkal lagi malam harinya. Job-job/orderan merias biasa ia dapat dari temannya yang mempunyai salon. Waw, tidak heran dandanan Sabina begitu apik, sampai-sampai saya sempat pangling saat pertama kali bertemu dengannya.
Pelanggan yang biasa ia jumpai kebanyakan terdiri dari anak muda mulai dari usia 19 tahun keatas.
Pernah sekali Sabina ditawar oleh anak SMA, namun ditolaknya karena menurutnya anak itu masih begitu muda dan belum pantas untuk melakukan hubungan sex.
Sabina melipat kaki kanan nya diatas kaki kirinya, sesekali ia kibaskan rambut panjangnya,  ia pun mulai berbagi cerita suka dukanya selama menjalani profesi nya yang ia geluti saat ini. Seringkali ia mendapat perlakuan buruk dari pelanggannya, pernah ia dituruni dijalan tol, kadang dipukuli, kadang tidak dibayar.
Pengalaman pahit yang pernah Sabina alami, yang mungkin dianggapnya sebagai pengalaman buruk yang tak terlupakan adalah saat ia bertemu dengan pelanggan asal Ambon yang sedikit ‘psyco’ , diceritakan dengan wajah yang sedikit kesal oleh Sabina, bahwa pelanggan tersebut membuangnya ke dalam waduk  setelah menggunakan jasa Sabina, sungguh hal yang menyakitkan bagi Sabina karena ia memerlukan waktu yang cukup lama untuk keluar dari waduk  yang cukup juram dan licin tersebut.
Dengan sisa kekuatan yang ada, Sabina teriak meminta pertolongan pada siapapun yang mungkin melewati tempat ia terjatuh, namun tak ada seorangpun yang menolong atau mendengar jeritannya.  Setelah berhasil keluar dari waduk apesnya Sabina belum sampai situ saja, orang Ambon yang membuangnya itu kembali mengejar Sabina dan melayangkan tinjunya ke muka Sabina, entah punya dendam pribadi apa itu orang sampai-sampai begitu tega memperlakukan Sabina sampai seperti itu.
Tak hanya itu saja, jika nasibnya lagi sial, ia bisa tertangkap oleh petugas trantip, dan harus melewati proses yang begitu panjang dan rumit untuk keluar dari kantor polisi, seringkali ia harus berpindah-pindah dari kantor yang satu ke kantor berwajib yang lainnya untuk mengurus proses pengeluarannya dari kantor polisi.
Tapi tidak sedikit diantara pelanggan Sabina yang memperlakukannya dengan baik. Salah satu kesenangan tersendirinya untuk tetap melakukan pekerjaannya ini adalah bisa dekat dengan pria, apalagi bila pelanggan yang ia jumpai seorang pria yang tampan dan sopan, mungkin itu bisa menjadi sebuah ‘bonus’ bagi Sabina.
Di area Taman Lawang tersebut mempunyai beberapa kelompok tersendiri, pernah kelompok Sabina berselisih dengan kelompok lainnya hingga terjadi pertikaian dan keributan yang tak terkendali sampai-sampai pihak yang berwajib ikut turun tangan mengatasi masalah tersebut, dan membubarkan salah satu kelompok waria tersebut. Untungnya  kelompok Sabina tidak menjadi sasaran pembubaran, karena kelompoknya tersebut tidak pernah membuat masalah sebelumnya, berbeda dengan kelompok lainnya yang seringkali menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang lebih, yaitu dengan cara mencopet uang pelanggan. Itu menyebabkan, tak sedikit orang yang pernah menjadi  pelanggannya melaporkan kelompok itu ke pihak yang berwenang.
Kalau ditanya apakah menjadi seorang waria itu adalah hal yang diinginkan Sabina, tentu saja jawabannya adalah TIDAK! Karena baginya hidup bisa diterima oleh masyarakat adalah sesuatu yang lebih menyenangkan, namun Sabina tak bisa membohongi naluri kewanitaannya yang lebih kental yang menyebabkan ia dapat melawan kodratnya yang dilahirkan sebagai seorang pria.
Sabina sama seperti manusia lainnya, yang mempunyai cita-cita dan kesempatan meraih masa depan yang indah. Dituturkannya semua yang menjadi keinginannya yang belum tercapai hingga kini kepada saya dan teman-teman saya.
Saya mau mempunyai salon pribadi, berhubung hobi saya kan suka merias wajah orang. Kalau punya salon sendiri tuh lebih enak yah, daripada kerja sama orang lain. Kalo punya salon sendiri kita bisa lebih maju, daripada harus bekerja sama orang lain..” jelasnya pada kami.
Malam semakin larut, Sabina saja sudah ditawar oleh salah satu calon pelanggan yang melewati kawasan Taman Lawang itu. Akhirnya saya memutuskan untuk  menyudahi wawancara kami, segeralah saya minta Sabina untuk berpose agar saya dapat menggambil gambarnya. Dengan bermacam gaya, Sabina bak seorang model tak ragu-ragu menampilkan pose terbaiknya.
Sesekali ia menebalkan wajahnya dengan taburan bedak dan memulaskan lipstik pada bibirnya untuk memberikan tampilan yang menawan, dan kembali berpose dengan seksi.  Selesailah perjalanan singkat wawancara ini dengan seorang pria yang lebih meyakini dirinya sebagai seorang wanita, atau biasa kita kenal dengan sebutan ‘waria’ Sumber : http://catatansigalau.blogspot.com/2011/12/kisah-sabina-salah-satu-waria-di-taman.html Nb : ditulis untuk memenuhi syarat UAS mata kuliah Fotografi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *