Wawancara Majalah Hidayatullah Pada Hartoyo
Jakarta.Ourvoice – Berikut hasil wawancara, antara majalah Hidayatullah (Muhammad, Rizki dan fotografer) kepada Hartoyo di seputaran cafe Apartemen Kalibata City, Jakarta Selatan, Selasa, 7 Agustus 2012. Ini adalah hasil rekaman Hartoyo sebagai narasumber. Jadi semua pertanyaan dan jawaban berdasarkan hasil rekaman. Wawancara untuk bahan tulisan majalah Hidatullah edisi September 2012 (menurut versi wartawan Hidayatullah). Berikut hasil wawancaranya:
Hidayatullah : Mas Hartoyo, tema majalah Hidayatullah kali ini akan mengangkat tentang gay yang sudah tidak menjadi gay lagi. Jadi ini untuk para orang tua yang sekarang, yang alhamdullilah anaknya sudah tidak menjadi gay lagi. Jadi itu mas, kita (Hidayatullah) bulan September akan mengangkat tema itu mas. Biar kita coba mengangkat gay tapi pada solusinya, bagaimana penanganan teman-teman gay ini, terutama dari sudut ke-Islaman, jelas Rizky (Hidayatullah).
Hartoyo : Apa pertanyaannya mas? Jangan susah-susah ya? (sambil tertawa Toyo)
Hidayatullah : Jadi begini mas, bisa diceritakan mengapa mas Hartoyo memilih menjadi seorang gay?
Hartoyo : Pertanyaan itu akan sangat sulit saya jawab,sama mungkin seperti pertanyaan itu kalau saya lontarkan kepada kepada mas Muhammad dan Mas Rizki (wartawan Hidayatullah). Misalnya kalau misalnya mas Rizki heteroseksual, kenapa mas Rizki bisa jadi heteroseksual? Dalam konteks pertanyaan itu mungkin sangat sulit menjawabnya, saya yakin mas Rizki pasti sulit menjawabnya. Bahkan kenapa kita jadi Islam, kenapa saya jadi orang jawa, pasti saya sulit menjawabnya.
Saya tidak begitu tahu, apakah Tuhan menciptakan saya sebagai seorang gay atau tidak, karena saya tidak pernah tanya langsung kepada Tuhan. Tapi sejarah hidup saya sebagai manusia, saya tidak pernah merasakan mencintai seorang perempuan secara seksual. Sejak akil baliq secara seksual saya sukanya dengan laki-laki. Itulah yang saya alami! Mungkin ada banyak gay-gay lain yang berbeda dengan pengalaman hidup saya.
Hidayatullah : Ada yang bilang dari seorang kawan, mas Hartoyo jadi seperti sekarang ini karena faktor masa lalu di Aceh. Katanya waktu di Aceh pernah ketahuan dengan kekasih (cowok) lalu dilecehkan oleh polisi syariah.
Hartoyo: Kejadiannya di Aceh tahun 2007. Saya kan jadi gay sejak kecil, jauh sebelum kejadian di Aceh itu. Masalahnya kasus penyiksaan dan saya dipermalukan oleh masyarakat apakah ini cara ajaran Islam?
Tahun 2007 saya sudah kerja di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), saya sudah terbuka sebagai gay, saya sudah damai dengan diri saya sebagai seorang gay. Saya jadi gay sejak saya Sekolah Dasar (SD). Bahkan saya pertama sekali suka dengan laki-laki dengan bapak-bapak yang dekat dengan rumah saya. Itu saya ingat sekali ketika kelas empat SD (11 tahunan). Dan saat itu sesuatu yang saya tidak tahu, apakah gay itu berdosa atau tidak. Pokoknya itu tumbuh dan lahir dalam hidup saya.
Justru saya tahu bahwa gay itu dilarang dalam pandangan umum agama, saat saya Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Dulu ketika di kampung, kalau saya diejek; “Toyo-Toyo, pacarnya si Wati. Saya langsung jawabnya didepan publik: bahwa saya tidak suka perempuan, saya sukanya dengan laki-laki”. Saat itu saya tidak tahu, kalau pemahaman banyak orang bahwa gay itu tidak boleh. Jadi sebegitu jujurnya anak kecil mengungkapkan itu.
Hidayatullah : Trus, yang kejadian di Aceh itu berdampak tidak sih? Apakah jadi semacam pemberontakan, saya semakin menjadi-jadi nih..
Hartoyo : Kejadian di Aceh itu membuat saya berpikir, ternyata manusia yang katanya beragama untuk mengajarkan kasih sayang justru bisa melakukan tindakan yang brutal seperti itu. Justru kejadian itulah yang membuat salah satu alasan kenapa saya membangun organisasi Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) Ourvoice.
Tujuannya adalah memberikan pendidikan kepada publik, bahwa ketidaksetujuan pada kelompok LGBT tidak perlu ditunjukan dengan cara-cara mempermalukan orang didepan publik. Itulah salah satu faktonya kenapa saya mendirikan organisasi, tapi masih ada faktor lain. Misalnya saya sudah memahami hak asasi manusia, saya meyakini bahwa menjadi gay adalah hak hidup saya. Tidak ada satu orangpun, termasuk negara boleh mengintervensi kehidupan saya.
Hidayatullah : Berarti sedikit banyaknya (kejadian di Aceh) mempengaruhi aktivitas seorang mas Hartoyo sebagai seorang gay?
Hartoyo : Kejadian itu mempengaruhi saya membangun organisasi di Aceh.
Hidayatullah : Semakin untuk membalas dendam? ah dengan adanya kejadian itu, maka saya akan semakin eksistensi sebagai gay gitu…
Hartoyo : Saya tidak bilang balas dendam ya!! Mas Rizki yang bilang itu ya. Saya tidak bilang itu.
Saya hanya ingin menyatakan kejadian di Aceh itu membuat saya refleksi. Mungkin ini sebagai petunjuk dari Allah SWT ;
” Toyo, kamu sudah tahu tentang apa itu gay, kamu justru harus meyampaikan kepada masyarakat, apa sebenarnya gay!. Dan kejadian di Aceh itu, mungkin menjadi “motor” bahwa saya harus meyampaikan, “Anda boleh tidak setuju, Anda boleh menyatakan bahwa gay haram, tapi Anda tidak boleh membunuh, meyakiti, menghujat”. Karena saya yakin Islam mengajarkan itu!.
Hidayatullah : Trus, kalau dari mas Toyo sendiri, sempat tidak terbesit dibenak mas Toyo, saya ingin berubah (jadi heteroseksual)?
Hartoyo : Saya dulu 5 tahun pacaran ama cewek
Hidayatullah : Oh Pernah? pacaran ama cewek?
Hartoyo : Masa kuliah saya pacaran ama cewek. Saat itu saya menganggap bahwa homoseksual sesuatu yang salah dan harus berubah (jadi heteroseksual). Makanya itulah alasan kenapa saya pacaran ama cewek, mudah-mudahan saya bisa berubah dan bisa menikah, pikirku saat itu. Tapi apa yang terjadi? Selama 5 tahun pacaran dengan cewek, sekalipun saya tidak perah mencium dia! Sekalipun gairah seksualitas saya sama sekali tidak ada kepada cewek itu. Saya berbohongkan dengan dia. Saya memutuskan hubungan pacaran kami, saat dia memaksa saya untuk menikah.
Hidayatullah : Tepatnya tahun berapa mas putusnya?
Hartoyo: Sekitar tahun 2004, karena saya pacaran pada saat tahun ketiga kuliah (1999) di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Pada tahun 2004 itu, saya sudah kerja di LSM dan saya sudah terpapar informasi yang jauh lebih banyak.
Saat dia mau minta nikah, saya bilang, udahlah mungkin aku tidak cocok buat kamu. Tapi saya waktu itu tidak jujur dengan perempuan itu, bahwa aku tidak suka secara seksual pada perempuan.
Hidayatullah: Berarti saat pacaran dengan pasangan lain jenis, dalam pikiran terdalam mas Hartoyo ada dong pikiran untuk berubah?
Hartoyo : oh ya, itu tahun 1999 tapi pada tahun 2004 saya memutuskan untuk tidak meyakiti dia (perempuan). Makanya setelah saya belajar soal hukum, tentang hak asasi manusia. Kemudian saya memutuskan bahwa yang terbaik adalah bahwa hubungan kami putus. Dan dia bisa menikah dengan orang yang tepat.
Ngapain saya maksain nikah dengan perempuan. Saya tidak mau seperti banyak gay-gay di Indonesia yang menikah dengan perempuan, tapi akhirnya ketahuan kalau suaminya penyuka sejenis.
Saya belajar tentang hak-hak perempuan, bagi saya itu mengkhianati orang lain, meyakiti orang lain. Bagaimana anak saya nanti tahu kalau bapaknya gay, bagaimana dengan istri saya. Itu akan sangat meyakitkan sekali dan saya gak mau menambah beban orang lain karena pilihan hidup saya.
Hidayatullah : Berarti buku-buku yang banyak mas Toyo baca itu semakin mempengaruhi bahwa mas Toyo ingin tetap jadi gay?
Hartoyo: Tidak, saya tidak mengatakan bahwa saya ingin tetap menjadi gay. Buku-buku yang saya baca sekarang ini memberikan keyakinan kepada saya bahwa gay itu adalah hak individu sekali. Hak sangat otoritas individu dan orang lain tidak boleh memaksa apalagi sampai merugikan. Kalaupun misalnya tahun depan saya ingin menjadi heteroseksual, itu adalah otoritas hidup saya. Sesuatu yang saya pilih, makanya saya tidak pernah meyalahkan seorang homoseksual jadi heteroseksual. Bagi saya itu bukan sesuatu yang salah, karena itu hak hidup orang. Hak yang paling hakiki.
Sama kalau misalnya mas Rizki (wartawan Hidayatullah) mau pakai jaket warna hitam itu adalah hak hidup orang dan tidak boleh saya melarang. Buku-buku yang saya baca itu memberikan pengaruh itu. Jadi kalau mas Rizky bilang tadi, bahwa saya akan tetap jadi gay. Saya katakan saya tidak akan jadi gay permanen. Tapi saya meyakini bahwa orientasi seksual saya hak hidup saya dan saya boleh menyatakan hari ini gay, mungkin 5 tahun lagi saya akan menikah ama cewek. Itu adalah hak hidup saya juga.
Hidayatullah : Itu kan dari kaca mata pribadi mas Toyo ya? Kalau kita kan diikat dengan agama gitu (Islam). Kalau dalam kaca mata Islam sendiri sebagai gay kan tidak diperbolehkan, itu gimana?
Hartoyo : Pandangan Islam umumnya bahwa perempuan tidak pakai jilbab gak dibolehkan? Tapi kan orang Indonesia (perempuan) muslim pada banyak yang pakai jilbab. Tapi apakah kita harus menelanjangi mereka? Apakah kita harus mukulin mereka? Itu baru soal jilbab, walaupun pemahaman jilbab sendiri banyak berbeda-beda. Seorang Quraish Shihab saja masih berdebat soal jilbab.
Dalam konteks homoseksual umumnya dianggap berdosa dalam Islam, iya! Tapi saya meyakini hal yang lain. Apakah pemahaman saya soal homoseksual dalam Islam benar? saya tidak tahu. Tapi saya meyakini benar! Apakah orang lain harus ikuti pemahaman saya? Gak!! Tapi orang jangan memaksa saya untuk mengikuti pandangan mereka soal homoseksual.
Karena bagi saya beragama itu, ketika saya masuk surga bukan karena mas-mas (menunjuk wartawan hidayatullah), mas juga masuk surga bukan karena saya. Setiap orang bertanggungjawan terhadap Tuhannya.
Hidayatullah : Prof. Dadang Hawari (mantan dosen psikiater dari UI) itu mengatakan orang-orang gay itu bukan dari faktor keturunan tapi karena faktor lingkungan. Bagaimana pendapat mas Toyo mengenai pendapat itu?
Hartoyo : Dalam konteks itu saya setuju dengan pak Dadang Hawari. Jadi gini, orientasi seksual (baik homoseksual maupun heteroseksual) apakah itu genetis atau lingkungan menjadi perdebatan sampai sekarang.
Tapi saya agak aneh nih, Pak Dadang itu dokter, biasanya para dokter itu mengacunya pada biologis. Coba baca di internet, semua para medis itu mengaju bahwa gay itu biologis (genetis). Tapi pemikiran sosial dan filsafat biasanya menyatakan bahwa orientasi seksual adalah kontruksi sosial (sistem sosial yang dibangun). Dan Pak Dadang, kayaknya berpikirnya sama dengan para pemikir sosial dan filsafat itu, padahal dia psikiater ya? Toyo tersentum. Tapi gak apa-apa, itu kan hak orang saya hormati.
Tadi saya awal katakan, saya mengatakan bahwa saya tidak tahu apakah saya menjadi gay itu karena genetis atau lingkungan. Tapi setelah saya baca buku-buku sosial dan filsafat, saya memang lebih percaya bahwa seksualitas itu sebuah kontruksi. Makanya tadi saya bilang dari awal, hari saya jadi gay, mungkin tahun depan saya heteroseksual, tahun depannya lagi saya aseksual??? Artinya saya mempunyai pandangan bahwa seksualitas itu “cair”. Ada yang bilang seksualitas itu cahaya, sesuatu yang sulit untuk didefinisikan. Jadi setiap orang boleh berubah.
Jadi kalau pak Dadang Hawari mengatakan bahwa orientasi seksual bisa berubah, saya meyakini aliran seperti itu. Saya sepakat ini dengan pak Dadang. Tapi apakah homoseksual itu berdosa atau tidak, itu soal lain ya. Tapi kalangan gay di Indonesia yang tidak banyak mendapatkan informasi tentang pendidikan kritis justru menolak dengan pendapat Pak Dadang Hawari, bahwa homoseksual itu karena lingkungan. Pasti psikolog umumnya di Indonesia pasti menolak, pasti bertentangan dengan Pak Dadang.
Hidayatullah : Iya..benar mas. Jadi, mas Hartoyo sendiri sependapat dengan hal itu, bukan karena faktor genetis?
Hartoyo : Saya mengacu bahwa seksualitas itu adalah cair, ketika saya dulu kuliah, ada teori genetik bahwa Performance = Genetis + Lingkungan. Ini menjelaskan bahwa penampilan dan hidup seseorang dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan. Bahkan lingkungan itu sampai memberikan pengaruh 70 persen.
Sebenarnya saya kurang suka memperdebatkan apakah gay itu genetis atau bukan genetis. Karena menurut saya, gay itu manusia, mau dia genetis mau dia pengaruh lingkungan, ya sudah hormati saja. Tidak boleh mendapatkan kekerasan,dihujat dan penyiksaan. Itu saja sebenarnya. Pokoknya saya meyakini bahwa orientasi seksual itu adalah kontruksi, sesuatu yang bisa dibangun.
Hidayatullah : Termasuk heteroseksual menjadi homoseksual?
Hartoyo : Iya benar sekali, termasuk heteroseksual menjadi homoseksual. Posisi saya meyakini bahwa homoseksual dan heteroseksual setara. Saya meyakini mas Muhammad (wartawan Hidayatullah) bisa jadi homoseksual, saya meyakini itu! Pasti mas Muhammad (wartawan Hidayatullah) gak kebayang ya; oh my God?? Astafirullah, itu soal lain ya (Toyo sambil bergurau). Mungkin saja mas Muhammad tinggal dipulau kecil. Kalau orang Jawa bilang, karena sering ketemu bisa jadi cinta, bisa saja kan? Sangat mungkin itu terjadi pada mas Muhammad.
Mungkin Pak Dadang, katanya bisa merubah seorang gay menjadi heteroseksual, itu mungkin saja karena dia memberikan kondisi yang nyaman, diskusi soal agama bahwa homoseksual itu berdosa atau soal-soal lain yang membuat seorang gay itu ingin berubah jadi gay. Itu sangat mungkin. Begitu juga seorang heteroseksual berubah menjadi homoseksual, itu sangat mungkin.
Coba cek dengan teman-teman gay, pasti akan banyak yang bilang ” dulu saya suka ama cewek, kok sekarang jadi homoseksual ya? “ Cobalah cek, pasti banyak itu. Hal itu menunjukkan bahwa seksualitas itu cair.
Hidayatullah : Untuk saat ini, mas Hartoyo punya pemikiran tidak untuk menjadi seorang heteroseksual?
Hartoyo : Kalau orang-orang menjadi kejam terhadap homoseksual seperti di Aceh, saya stress. Apa ya maksudnya, kok orang bisa begini ya? (baca: kejam). Tapi untuk jadi heteroseksual kayaknya sampai sekarang belum, tapi ada kepikiran untuk meninggalkan Indonesia, biar bisa hidup lebih tenang dan gua pingin dianggap sebagai manusia.
Tapi kemudian saya meyakini, mungkin Allah SWT telah memilih saya untuk menyatakan” Toyo, tebarkanlah perdamaian, sampaikan bahwa kamu manusia, kamu orang yang bisa menebarkan kasih,cinta”. Jangalah memandang orang karena dia gay, warna kulit hitam, rambut keriting, tapi tunjukkanlah karya-karyamu.
Saya selalu refleksi dan saya selalu dialog dengan Allah SWT dengan cara saya. Bahwa ini mungkin tantangan hidup saya, yang harus saya sampaikan kepada publik. Ya mungkin masyarakat memang butuh pendidikan, dan saya merasa terpilih untuk itu. Saya meyakini itu saja!
Hidayatullah : Menurut Dadang Hawari, seorang homoseksual bisa sembuh menjadi heteroseksual, asal dia (homoseksual) punya motivasi kuat untuk kembali ke jalan heteroseksual.
Hartoyo : Saya tidak mau menyatakan sembuh ya, ini yang saya koreksi. Pak Dadang bicaranya dalam konteks apa. Dia (Dadang Hawari) sebagai medis atau sebagai ulama? Kalau dia sebagai ulama, gak masalah dia bilang homoseksual itu berdosa. Tapi kalau dia bicara sebagai medis, saya harus luruskan. Didalam ikmu medis, homoseksual bukan penyakit jadi gak perlu disembuhkan. Mungkin menurut saya sebaiknya pak Dadang menyatakan gay yang berubah jadi heteroseksual bukan dengan kata sembuh. Tapi kalau dia menyatakan sembuh, artinya dia mengingkari keilmuan dia sebagai dokter. Di Kementerian Kesehatan coba cek, Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa (PPDGJ) III bahwa homoseksual bukan penyakit dan international juga begitu.
Hidayatullah : Itu yang dikritik oleh Pak Dadang Hawari, bahwa psikologi Amerika itu memang tidak tepat mengeluarkan homoseksual sebagai penyakit.
Hartoyo: Gak apa-apa kalau Pak Dadang melakukan kritik itu tidak masalah, itulah dinamika ilmu pengetahuan. Pak Dadang bisa buat penelitian, keluarkan buku. Tapi kemudian pertanyaannya adalah, apakah pendapat dia (Dadang Hawari) diterima oleh medis secara umum atau tidak? itukan persoalan lain ya. Artinya bahwa Pak Dadang gak setuju tidak masalah, tapi kalau orang tidak setuju dengan pak Dadang juga tidak masalah. Itulah demokrasi. Saya tidak akan membakar bukunya pak Dadang kok walau aku tidak setuju pendapatnya, tapi saya akan kritik.
Hidayatullah : Gini mas Hartoyo, kita juga mewancarai teman-teman gay yang berubah menjadi heteroseksual. Mereka menikah dengan perempuan, mereka punya anak dan mereka berusaha kuat untuk menjadi heteroseksual. Untuk orang-orang seperti ini, apa tanggapan mas Hartoyo?
Hartoyo: Saya hormati, karena itu pilihan hidup orang, seperti yang saya katakan sejak awalkan. Seksualitas adalah hak hidup setiap orang, saya hormati dan silakan datang ke Ourvoice. Tanyalah teman-teman Ourvoice, saya katakan bahwa kita (ourvoice) tidak sedang meng”gay” kan orang, kita (ourvoice) tidak sedang meyuruh orang jadi homoseksual atau meyuruh orang jadi heteroseksual.
Tapi kita (ourvoice) meyampampaikan tentang pendidikan seksualitas,tentang hak asasi manusia. Pilihan ada pada hidup orang masing-masing. Kalau misalnya dia merasa dirinya homoseksual terus memutuskan menikah dengan perempuan dan kemudian datang ke Ourvoice, ya tidak apa-apa! Itukan hak hidup orang, harus kita hormati.
Jadi saya hormati saja, karena itu pilihan orang. Tapi apakah pilihannya itu baik untuk saya? belum tentu!. Orang kan punya pengalaman hidup masing-masing.
Begini ya, pilihlah hidupmu itu dan kamu bertanggungjawab atas pilihannya itu. Misalnya mas Muhammad (wartawan Hidayatullah) yakin tidak, bahwa orang gay yang katanya jadi heteroseksual bahwa dia tidak melakukan penghianatan? Bisa tahu tidak rasa hati orang tersebut (gay yang menjadi heteroseksual)? Misalnya Pak Dadang, bilang oh dia (gay) sudah sembuh udah gak dengan cowok lagi.
Emang Pak Dadang Hawari bisa mengikuti orang tersebut 24 jam? Saya tidak mau katakan, bahwa gay yang menjadi heteroseksual, aduh bulshet!! Saya hormati.
Hidayatullah : Karena faktanya ada ya mas Toyo?
Hartoyo : Aduh….faktanya banyak sekali, saya bisa tunjukkan para gay-gay yang menikah dengan perempuan. Malam minggu pulang kerja, sebelum pulang kerumah singgah ke tempat pacar cowoknya dulu. Saya bisa yakin sekali, 95% gay di Indonesia melakukan itu.
Hidayatullah : Gay yang menikah dengan perempuan?
Hartoyo : Iyaaaa, aduhhhh. Pak Dadang Hawari boleh yakin bahwa gay itu menikah dan punya anak, boleh itu tidak masalah. Tapi pertanyaanku, bagaimana Pak Dadang yakin? Emang dia bisa mengikuti 24 jam?
Anak mas Muhammad (Wartawan Hidayatullah) (Toyo menunjuk kepada wartawan Hidayatullah) sendiri saja tidak tahukan? apakah anak mas itu sholat atau tidak diluar. Itu tidak bisa, karena kita tidak bisa mengikuti orang 24 jam. Tapi kalau ada gay yang bilang sudah menjadi heteroseksual dan menikah dengan perempuan, ya kita hormati saja.
Saya selalu bilang, ya kalau gay menikah dengan perempuan, ya menikahnya yang benar. Jangan tidur ama laki-laki lagi, karena kalau tahu istri dan anaknya sakit hati sekali. Bagaimana perasaan istri dan anak-anakmu kalau tahu.
Hidayatullah: Kita sempat dapat informasi juga, bahwa mas Hartoyo sempat berbeda pendapat dengan keluarga tentang jalan pilihan untuk menjadi gay ini. Itu apakah betul itu mas?
Hartoyo : Keluarga saya dikampung, pasti kaget ya. Saya itu sarjana satu-satunya dikeluarga. Saya anak yang dibanggakan oleh keluarga. Jadi pasti keluarga ingin saya menjadi umumnya anak-anak lain. Apalagi keluarga saya tidak tahu apa itu homoseksual, tidak terbayang oleh mereka. Tapi sejak kecil saya anak yang dibanggakan oleh keluarga, saya sejak kecil kalau sekolah juara I. Satu-satunya anak ketika SMP sekolah disekolah favorit, nilai ebtanasnya tertinggi di sekolah. Jadi, kebanggaan-kebangaan itu memudahkan saya bernegosiasi dengan keluarga.
Malah keluarga saya selalu bilang, iya Hartoyo memang gay, tapi dia jauh lebih baik dari anak-anak mudah heteroseksual di Kampungku. Jadi ya perdebatannya tidak begitu bermasalah.
Paling keluarga bilang kepada saya, kamu kan baik nanti kamu masuk neraka. Tapi saya sampaikan, kita tidak tahukan siapa yang masuk surga dan neraka, jangan-jangan saya yang masuk surga dan kalian yang masuk neraka, itu yang saya jelaskan kepada keluarag. Jadi dialog dengan keluarga saya lebih seperti itu.
Menurut saya, menjadi manusia yang baik itu jauh lebih penting daripada mempertanyakan orang lain apa agamamu, apa sukumu,apa orientasi seksualmu. Buktinya saya, kalau mas gak percaya,datanglah ke kampungku, orang tahu kok siapa saya. Kalau misalnya mas bilang orang kampung saya, tapi Toyo homoseksual (suka ama cowok) pasti orang kampung saya pada tertawa saja.
Jadi seksualitas saya menjadi tidak penting bagi orang kampung saya. Mereka lebih penting melihat saya memperjuangkan tanah mereka yang akan direbut oleh PLN, saat saya bisa memulangkan orang kampung saya 4 tahun tidak digaji dan disiksa kerja di Malaysia, saat saya ada pekerja sex mati dibunuh di hotel dan satu keluarganya tidak mau mengurus. Saya yakin orang kampung saya lebih melihat apa yang saya lakukan daripada mempertanyakan siapa pasangan saya, saya yakin itu!
Hidayatullah : Tadi kan mas Hartoyo sempat pacaran dengan perempuan, kalau menurut kami sebagai orang awam itu ada jalan kembali ke jalan normal ya? Kenapa gak dilanjutinkan ya, 5 tahun loh mas!
Hartoyo : Itu pasti pandangan Pak Dadang Hawari akan menyatakan, oh dia sudah pacaran ama perempuan, sudah bisa berubah. Padahal kan tidak tahu hati setiap orang. Waktu itu juga teman-teman kuliah saya di Aceh mengejek saya, “Aduh, akhirnya Toyo berubah juga”. Karena teman-teman kuliah saya tahukan saya feminin, akhirnya Toyo kembali ke jalan yang lurus, sambil tertawa, ungkap teman-saya di Aceh. Kalau ditanya kenapa gak diteruskan lagi, sejak awal saya katakan, saya bukan gay fundamentalis. Saya kan penganut bahwa seksualitas itu cair, otoritas hidup orang.
Jangan-jangan nanti suatu saat nanti mas Rizky (wartawan Hidayatullah), Toyo sambil menunjuk Rizky, yang single dan malah saya yang menikah dengan cewek. Atau mas Rizky yang jadi homoseksual dan saya malah yang jadi heteroseksual. Dan kemudian mas Rizky yang menceramahin saya (sambil tersenyum Toyo).
Itukan semua tidak tahu hidup ini. Ya kalau misalnya mas Rizky berdoa, semoga mas Toyo bisa jadi heteroseksual,ya gak apa-apa. Terima kasih. Tapi untuk saat ini saya belum kepikiran untuk menjalin hubungan dengan perempuan.
Hidayatullah : Mas, panjang lebar dari tadi, ini belum ketemu titiknya..
Hartoyo : Memang gak harus ketemu titiknya kok mas (Toyo sambil tersenyum menjawabnya)
Hidayatullah : Dari tadi kalau saya tanya, mas Toyo selalu membalikan lagi pertanyaan kepada si penanya. Apa sih latar belakangnya kenapa mas Toyo sejak kecil (sudah kelas 4 SD) sudah suka sejenis. Pasti ada dong faktor pemicunya, misalnya sering nonton ini, saya juga baca di blog karena teman sekelilingnya banyak perempuan.
Hartoyo : Itu susah mas jawabnya, kalau ditanya soal itu. Gak mungkin kan saya bohong. Tidak mungkin kan saya bilang bahwa saya diperkosa oleh laki-laki sementara saya tidak pernah mengalami itu, tidak mungkin kan saya bilang itu.
Sama pertanyaan kalau saya tanya kepada mas, kenapa mas jadi heteroseksual? Apakah mas dulu suka ngintip perempuan ya?
Hidayatullah : Jadinya tidak ada faktor traumatis, keluarga atau pola asuh dari keluarga, itu tidak ada ya?
Hartoyo : Saya tidak mau berasumsi apapun soal itu. Tapi sekali lagi saya tekankan, sejak lahir,selama hidup saya, saya tidak pernah merasakan suka secara seksual pada perempuan. jadi saya bingung jawabnya, mungkin bisa ditanyakan saja pada Allah SWT.
Hidayatullah : Begini mas Hartoyo, saya barusan wawancara psikolog ya mas. Memang ada faktor gen sedikit gay itu, menurut psikolog itu bisa di therapy hormonal. Mas Hartoyo pernah mendengar therapy ini, mungkin pernah mencoba?
Hartoyo : hmmmmm, saya tidak pernah dengar itu. Tapi memang ada therapy-therapy laki-laki jadi perempuan, itu banyak ya. Malah di Iran itu dibiayai oleh negara.
Mungki memang ada kali ya, therapy seperti itu. Tapi saya tidak tertarik terhadap therapy itu. Sekali lagi, kampanye saya adalah “stop kekerasan atas dasar apapun”. Jangan membenci, boleh tidak setuju dengan homoseksual. Hormatilah saya atas pemahaman saya ini.
Hidayatullah : Mas, kami ingin memadukan pendapat pak Dadang Hawari dengan psikolog, ada faktor atau kunci penting seorang gay bisa jadi heteroseksual. Ini sudah kejadian kata psikolog itu diberbagai negara, ada kaum-kaum yang gay itu kembali ke heteroseksual ketika dia masuk Islam. Ketika mempelajari Al quran dan segala macamnya.
Menurut mas Hartoyo, apakah ada satu momentum ketika mendalami agama punya keinginan menjadi heteroseksual. Atau mungkin mas Hartoyo punya pengalaman terkait dengan itu.
Hartoyo : Pasti ya, menurut saya bahwa agama memberi pengaruh ke hidup seseorang itu pasti. Tapi kan bukan cuma agama, banyak faktor lain juga ya, seperti pendidikan disekolah. Saya setuju dalam konteks itu. Bahwa pemahaman keagamaan bisa merubah orang dari heteroseksual ke homoseksual, atau homoseksual ke heteroseksual.
Jadi sekali saya katakan, agama itu kan banyak pemahaman. Tergantung pemahaman siapa, pemahaman Gus Dur, Riziek, Quraish Shihab? Kan beda-beda pemahamannya. Mau pemahaman aliran Syiah atau pemahaman Sunni. Tapi menurut saya bahwa agama memberikan pengaruh, iya memang benar.
Saya cuma ingin sampaikan kepada Pak Dadang dan teman-teman Hidayatullah. Jangan terlalu yakin dengan pernyataan saya dan juga pernyataan orang-orang gay yang katanya jadi heteroseksual. Nanti bisa sakit hati, karena kita tidak bisa mengikuti orang 24 jam.
Sama seperti saya melihat melihat mas Muhammad (wartawan Hidayatullah), terlihat santun, alim (mas Muhammad tertawa), tapi saya tidak tahu kan seksualitas mas Muhammad? Saya tidak bisa melihat itu, ya udh itu menjadi urusan mas Muhammad saja.
Hidayatullah : Menurut Psikolog (Burita Subagyo, maaf kalau saya ejakan tulisan nama), homoseksual itu bisa berubah ada dua hal. Ada sudah berubah prilaku seksualnya dan berubah orientasi seksualnya. Ada memang homoseksual prilaku seksualnya sudah tidak melakukannya lagi, tetapi orientasi seksualnya masih menjadi homoseksual. Tapi kata psikolog itu, itu sudah lebih baik ketimbang tidak sama sekali.
Hartoyo: Kalau misalnya mas Muhammad mengatakan bahwa heteroseksual lebih baik daripada homoseksual, saya hormati pendapat itu. Tapi kalau Psikolog ibu Burita itu menyatakan bahwa heteroseksual lebih baik dari homoseksual, itu tidak sesuai dengan keilmuan psikologi. Karena didalam ilmu psikologi tidak meyatakan bahwa heteroseksual lebih baik dari pada homoseksual. Itu saja sih menurut saya.
Hartoyo: Sebaiknya Hidayatullah bisa wawancarai psikolog atau psikiater yang lain, seperti Prof.Lukas (UI), Baby Jim Aditya (Aktivis dan dosen) dan dr Kartono Muhammad (mantan Ketua IDI), supaya ada pandangan lain dari psikologi dan menjadi lebih fair beritanya. Ini usul saya saja Toyo). (Khusus ungkapan Toyo terakhir ini tidak ada dalam rekaman,dilakukan setelah selesai wawancara dan juga diingatkan melalui SMS Toyo kepada mas Muhammad malam harinya setelah wawancara).
Note: Hasil tulisan ini semua hasil verbatim, tapi perubahan editan kalimat karena supaya memudahkan dipahami. Dan hasil wawancara ini juga sama direkam oleh pihak majalah Hidayatullah.Kemudian, pihak Hidayatullah meyampaikan kalau Prof.Dadang Hawari ini membuat diskusi publik soal ini. Menurut saya ini cara menarik untuk terus menerus membangun dialog, saya dan Ourvoice tentu berharap bisa terlaksana. (Hartoyo)