Ketika Demokrasi Diuji Oleh Teori Queer
Ourvoice.or.id- Demokrasi fana adalah demokrasi tanpa representasi. Demokrasi yang hakikatnya untuk mendistribusikan kekuasaan pada orang banyak, pada publik, agar terhindar dari kekuasaan absolut satu pihak ternyata bisa menjadi kekuasaan absolut satu kelompok. Dalam kuliah umum Teori Queer dan Demokrasi, 17 Mei 2013, Rocky Gerung mengatakan bahwa dalam demokrasi tersembunyi sekat tak terlihat yakni identitas politik.
Satu kelompok yang terikat dalam kesamaan identitas menggunakan kendaraan demokrasi untuk menjalankan negara sesuai dengan apa yang mereka mau. Dampaknya tentu saja suara-suara identitas minor jadi kurang bahkan tidak terdengar
Teori Queer, menurut Rocky Gerung, dasar pikirannya adalah menguji sanggupkah demokrasi menjamin wilayah kemerdekaan warga negara agar keragaman pengalaman individu dapat dinikmati sepenuhnya. Gerung pun mengakui bahwa dari awal desain demokrasi memang tidak imparsial, artinya demokrasi dibuat untuk melayani warga mayoritas tidak melayani warga yang minor. Dan bila dikaitkan dengan seksualitas warga, tentu saja demokrasi hanya melayani penduduk yang heteroseksual. Maka tidak heran bila ada transjender yang hak politiknya diabaikan hanya karena dia tidak mengikuti aturan umum heteroseksual.
Untuk itulah Queer, yang artinya aneh, mencoba membicarakan jenis pengalaman yang aneh, yang tidak umum, supaya demokrasi melayani semua jenis pengalaman yang tidak dikenal sebelumnya. Menariknya, dalam teori Queer tidak menbicarakan identitas sebagai label politik. Karena menurut teori ini, dalam politik identitas ada hieraki kekuasaan. Dan hierarki kekuasaan memiliki tabiat untuk kaku, tidak cair.
Teori Queer mengagetkan nilai-nilai dominan yang kaku dan mempertanyakan konsep identitas,”Identitas dalam bahasa Yunani artinya adalah mayat, karena hanya orang mati yang bisa diidentifikasi” ujar Rocky. Jadi identitas bisa sangat cair bagi tiap individu selama individu masih bergerak dan individu masih hidup.
Jika direnungkan kembali, muara identitas adalah dikotomi. Berawal dari dikotomi lahirlah diskriminasi. Dalam upaya melawan itu, Queer membuka kembali debat tentang”identitas”, membuka kembali obrolan demokratis yang biasanya ditutup oleh politik identitias. Oleh sebab itu, etika keadilan yang dihasilkan dari pengalaman ketubuhan yang didalamnya berisi pengalaman politik kesetaraan menjadi tujuan yang penting untuk dicapai dalam menjalankan proses demokrasi. (Gusti Bayu)
Makalah lengkap dapat diunduh di disini