Slideshow « Saatnya Perempuan Merebut Kembali Haknya di Ranah Internet
Ourvoice.or.id – Dunia menjadi sangat berbeda ketika internet ada. Dunia menjadi seakan-akan tanpa jarak, cepat dan tak bersekat. Internet yang bertujuan untuk memudahkan manusia dalam berkomunikasi, bersosialisasi bahkan berekonomi, memiliki sisi gelap yang terkadang pengguna tidak tahu misal pencurian data, penipuan dan sebagainya. Internet yang sejatinya adalah dunia maya, berubah menjadi ruang nyata, ruang publik di mana pertarungan berbagai kepentingan mulai menjejakinya. Bagaimana dengan kepentingan perempuan? Dan bagaimana perempuan memanfaatkan internet sebagai media perjuangan? Perempuan-perempuan aktivis mencoba menjawab pertanyaan tersebut di dalam diskusi “Perempuan dan Hak Internet” yang diadakan di Kedai Tjikini, Rabu, 24 Oktober 2012.
Diskusi dimoderatori oleh Lia Toriana dengan Nani Buntarian sebagai narasumber. Nani Buntarian adalah perempuan aktivis yang menjadi pioner dalam penggunaan internet sebagai media informasi pergerakan perempuan, tahun 1998, Nani buntarian membuat mailing list pertama yang ditujukan untuk pergerakan perempuan.
Nani menjelaskan bahwa ada beberapa sebab yang membuat penggunaan internet meningkat, salah satunya adalah karena orang Indonesia senang ngobrol dan desain sosial media sangat cocok untuk orang Indonesia. Lebih lanjut Nani menjelaskan bahwa forum-forum media sosial bisa sangat memerdekakan, banyak fitur-fitur dari media sosial yang bisa digunakan untuk pergerakan perempuan, untuk itu perempuan harus merasa nyaman dengan teknologi. Menurut Nani, internet ibarat samudera yang menyenangkan untuk diarungi namun bisa juga sewaktu-waktu menenggelamkan, sehingga perempuan aktivis harus punya strategi untuk mengelola internet agar dampak yang terjadi adalah dampak yang bagus bukan dampak yang mematikan.
Nani pun menegaskan bahwa hak-hak perempuan di internet adalah hak pengguna internet namun hak-hak tersebut tidak terlindungi. Jika internet menjadi ajang untuk melecehkan perempuan semisal kasus yang menimpa model berinisial NA, sebaiknya perempuan aktivis tidak hanya bereaksi pada tiap kasus namun juga mendata kasus untuk kekuatan perempuan dalam proses advokasi. (Guhtee Gaidar)