OSCAR LAWALATA: JALAN TERJAL MENJADI DESAINER
Kenyataan-kenyataan getir diterimanya sejak kecil. Namun, ia tetap mampu bergembira dan berprestasi. Bakat menggambarnya menjadi awal nasib baiknya di kemudian hari.
Suatu pagi di kantor PT OSCAROSCAR, sesosok pria berwajah elok dan berambut panjang lembut yang diikat seadanya, memimpin meeting di depan puluhan stafnya. Dengan suara halus namun bernada tegas, satu demi satu masalah dibicarakan, sampai dapat titik temu. Setelah itu, tubuhnya yang gemulai, dibalut celana panjang, T-shirt, dan scarf, beralih ke ruang kerja yang disebutnya ruang kreatif.
Ditemani alunan musik, ia menyempurnakan sketsa-sketsa busana pesanan salah satu dari 500-an kliennya. Setelah menyantap makan siang (yang dibawa dari rumah), ia beralih ke ruang fitting baju pesanan klien. Satu demi satu bagian gaun malam berdetail unik dengan finishing rumit itu diteliti dengan tangannya yang cekatan.
Setelah urusan di kantor usai, ia pergi ke sebuah hotel berbintang 5 di lingkar Kuningan, untuk presentasi. Di sini, menjajarkan sekitar 30 sketsa pada board khusus yang dibawa asistennya, berupa sketsa contoh seragam hotel, mulai dari doorman hingga general manager.
Hingga kini, sudah puluhan perusahaan besar memercayakan order seragam mereka kepada perancang muda ini. Seusai presentasi, ia segera kembali ke kantor, karena telah ditunggu seorang klien penting yang mengajaknya menggelar fashion show di luar negeri.
Itulah salah satu hari sibuk Oscar Septianus Lawalata. Kini, di usia yang belum genap 30 tahun, ia masuk jajaran ‘desainer mahal’, yang menawarkan tiga label: OscarOscar Couture, Oscar Lawalata (etnik), dan OscarOscar (ready to wear). Ia jeli melihat peluang pasar di dunia fashion, antara lain dengan menggarap seragam perusahaan besar dengan label khusus, Oscar L. for Uniform.
Kini, nama besar dan materi berlimpah memang sudah digenggamnya. Sebuah reward yang pantas untuk kerja keras dan ketabahannya, menapaki jalan yang begitu terjal selangkah demi selangkah.
MAIN SEPEDA GRATIS
Oscar melewati masa kecil yang prihatin. Di usia 4 tahun, ia kehilangan sosok ayah akibat perceraian orang tuanya. Oscar kecil yang dulu jadi kesayangan keluarga besar ayahnya, Alexander Polii, tiba-tiba kesepian karena hanya hidup bersama ibunya, Ragnild Antoinette (47), pemain sinetron yang dikenal dengan nama Reggy Lawalata, dan Mario Lawalata, adik satu-satunya. Tapi, Oscar mengaku tak ada satu pun kenangan tersisa tentang ayahnya, fakta yang diakuinya mempermudah dirinya menerima kenyataan.
Dalam kesempatan wawancara dengan femina, Reggy menceritakan tentang masa kecil Oscar dengan ekspresi yang berganti-ganti. Kadang-kadang tertawa geli, menertawakan kemiskinan mereka dulu, atau menangis terharu mengenang Oscar kecil yang penuh pengertian.
Menurut Reggy, semasa Oscar berusia sekitar 6 dan 7 tahun, ia hanya mampu memberi susu kepada anaknya hanya sampai tanggal 17 setiap bulannya. Kalaupun masih ada uang tersisa, diutamakan untuk membeli susu buat Mario, adik Oscar yang berbeda usia 3 tahun. Saat memberikan susu tersebut, Reggy dan Oscar harus siap dengan tangisan Mario. “Karena susu dan gulanya dikurangi, dia akan berteriak protes karena kurang kental atau kurang manis, sambil melempar botol susunya, kata Reggy. Biasanya, Oscarlah yang berusaha menenangkan adiknya.
Berbeda dari Mario, Oscar tak pernah protes. Paling-paling, setelah meneguk isi gelasnya, Oscar bertanya, “Ini teh manis, ya, Mama? Reggy akan mengangguk sambil meminta pengertian Oscar, dan berjanji akan segera membeli susu lagi begitu punya uang.
Melewati masa balita Mario, hidup masih saja susah bagi mereka. Sering kali Reggy hanya mampu masak sayur bayam dan semur telur. Kemudian setiap telur dipotong dua, agar cukup untuk makan malam. Jika Oscar dengan tenang menyantap nasi dan jatah lauknya, si kecil Mario selalu minta tambah telurnya separuh lagi. Akhirnya Reggy memberikan jatahnya, dan hanya makan dengan kuah semur (biasanya setelah anak-anaknya tidur).
Saat bersekolah di SD PSKD VI, Jakarta, setiap kali akan berangkat ke sekolah, tak jarang Oscar harus menggendong Mario dari rumah ke halte bus kota “Soalnya kami harus berangkat pagi-pagi dan Mario biasanya masih mengantuk, kata pria kelahiran Pekanbaru, 1 September 1977 ini, sambil tertawa. Perjalanan dari Bintaro ke Blok M itu lumayan jauh untuk ditempuh dua anak kecil ini. Tetapi, mereka terpaksa menjalaninya, karena Reggy tak mampu membayar uang antar-jemput sekolah.
Meskipun banyak mengalah, Oscar tetaplah anak-anak. Ada saatnya Oscar minta dibelikan sepeda. Reggy tidak memiliki uang untuk membeli sepeda. Tapi, ia tak kurang akal. Ia mengajak Oscar ke Pasar Rumput, di bilangan Manggarai, Jakarta Selatan, yang banyak menjual sepeda bekas.
Di salah satu toko, Reggy akan menunjuk salah satu sepeda, lalu Oscar disuruhnya berkeliling mengendarai sepeda itu di pinggir jalan di depan toko. Namun, sebelumnya Reggy tak lupa berbisik di telinga Oscar untuk mengatakan ‘tidak suka’, ketika penjualnya menanyakan apakah ia jadi membeli sepeda tersebut. Setelah Oscar menjawab tidak mau, Reggy dan Oscar akan berjalan ke toko sepeda lain.
Di situ, kembali Oscar berkeliling bermain sepeda. Setelah anaknya puas, dengan trik yang sama, Reggy akan mengembalikan sepeda kepada penjualnya. Kepada Oscar, Reggy menjelaskan uangnya belum cukup. Seperti biasa, Oscar hanya mengangguk.
Sebagai orang tua tunggal, Reggy memang harus pontang-panting mencari uang untuk kebutuhan mereka bertiga. Menjahit cempal (pegangan panci) sampai tengah malam untuk dijual seharga lima ratus rupiah sepasang, berjualan gado-gado dan es cendol, menjadi sopir bus sekolah, sampai menenteng tas besar berisi barang kreditan ke rumah teman-temannya yang sedang mengadakan arisan (sambil menuntun dua anak), semua dilakoninya.
Meski sudah berusaha keras, tetap saja sering Reggy tak punya uang sama sekali untuk membeli makanan buat esok harinya. Kalau sudah begitu, setelah anak-anak tidur, Reggy berdoa di ruang tamu, sambil menekan bantal kuat-kuat ke wajahnya, agar tangisannya tak terdengar Oscar dan Mario, di rumah mereka yang sempit.
Hidup dalam kekurangan bukan berarti keceriaan tak mewarnai masa kecil Oscar. Main benteng, galasin, layangan (dengan teman-teman pria) atau main karet dan bekel (dengan teman-teman wanita), membuat Oscar gembira. Namun, diakui Oscar, ia sering ditertawakan jika ikut bermain sepak bola atau voli. Jadi, biasanya ia hanya duduk menonton di pinggir lapangan. Oscar memang gemulai sejak kecil. “Bahasa tubuh saya memang begini dari sananya, tapi saya tak pernah minder, kata Oscar, apa adanya.
Sosok Oscar yang lembut, ditambah kulit halus, alis mata bagus, dan bibir merah alami, tak ayal memancing anak-anak untuk iseng meledeknya. Saat itulah, si adik yang mulai besar, muncul sebagai pembela saat kakaknya diejek anak-anak dari perkampungan di belakang kompleks perumahan mereka di Bintaro.
“Saya berani mengejar mereka. Saya tidak takut kalaupun saya harus dikeroyok, kata Mario, model dan presenter, yang menganggap kakaknya ‘unik’ tanpa kurang suatu apa pun. “Suatu saat, mereka akan tahu kehebatan kakak saya, ucap Mario, dalam hati.
PELANGGAN JUARA KELAS
Di mata Mario, Oscar memang memiliki kelebihan. “Dia bukan anak penuntut seperti saya,” lanjut Mario. Bahkan, suatu kali, Oscar mau merelakan jatah uang sepatunya untuk membeli sepatu bermerek terkenal bagi Mario. Oscar yang sejak kecil gemar memadu-padankan warna tas sekolah dan perlengkapan alat tulis dengan warna sama, cukup puas dengan tas bekas pemberian kerabat.
Kelebihan Oscar yang lain adalah jago menggambar, bahkan buku hariannya dipenuhi gambar dan kode khusus untuk menggambarkan orang yang diceritakannya. Oscar juga gemar menggambar topeng, karena bisa bebas mereka-reka ekspresi wajah topeng . “Entah kenapa, saya suka menggambar wajah-wajah kosong atau hampa,” kata Oscar, yang berdarah Jawa, Ambon, dan Belanda ini.
“Oscar dan Mario bagaikan bumi dan langit,” ucap Reggy, sambil menerawang. Oscar dan Mario memang berbeda, dilihat dari sifat maupun penampilan. Bersama berjalannya waktu, ‘kelebihan’ Oscar yang lain juga makin terlihat. Perbedaan itu kian tampak dari waktu ke waktu hingga sanak saudara pun mulai angkat bicara. Reggy merasa sedih dan terus berharap Oscar berubah.
Reggy kemudian meminta Oscar les karate, ide yang ditolak mentah-mentah oleh Oscar. Oscar juga sering menahan rasa sedih saat diminta ibunya membawakan barang-barang belanjaan yang berat. Oscar juga dituntut untuk bersikap lebih ‘pria’, sigap dan kuat, daripada sikapnya sehari-hari yang lemah lembut. Bukannya Oscar tak berusaha untuk membahagiakan ibunya, namun kenyataannya memang seperti itu. “Begitulah diri saya, dipaksakan seperti apa pun, tetap tak bisa,” kata Oscar, yang akhirnya tumbuh sebagai anak yang makin pendiam dan gemar berpikir.
Namun, Oscar tak mampu menolak ketika ibunya memint ia ikut ajang pemilihan model pria, seperti yang dilakukan Mario. “Meskipun setengah hati, saya berhasil lolos sebagai finalis. Setelah itu, saya harus difoto dengan berbagai pose dan berjalan di catwalk. Saya menjalaninya seperti akting saja,” kata Oscar, yang tak suka menjadi model dan akhirnya tidak meneruskan kegiatan ini.
Meskipun Reggy masih saja resah dengan ‘kelembutan’ anak sulungnya ini, Oscar memberi kebanggaan lain pada Reggy setiap kali pengambilan rapor tiba. “Dia selalu jadi juara kelas, sejak SD sampai SMA. Guru-gurunya juga selalu berterima kasih kepada saya, karena Oscar mampu mengoordinasi teman-temannya untuk mendekor panggung pentas seni,” kenang Reggy.
Oscar juga selalu terpilih sebagai ketua kelas. Bagaimana gaya Oscar memimpin teman-teman sekelasnya? “Saya bisa bersikap tegas saat diperlukan,” kata penggemar buku, yang tak punya cita-cita lain kecuali menekuni seni.
PERANG DINGIN’ IBU-ANAK
Saat Oscar duduk di bangku SMA di Don Bosco, kehidupan ekonomi keluarganya berangsur-angsur membaik. “Tetapi, ya, tetap pas-pasan. Misalnya, saya sudah mampu jajan mi ayam di sekolah. Tapi, kalau teman-teman bisa jajan dua kali di jam istirahat, saya cuma sekali saja,” kata Oscar.
Di masa-masa ini pula, ‘perang dingin’ Oscar dengan Reggy makin meruncing. Reggy sampai mengajaknya ke psikolog, namun Oscar menolaknya. “Psikolog mau bicara apa pun, keadaan saya tetap tidak akan mungkin berubah,” kata Oscar. Keadaan pun makin ‘panas’, sehingga Oscar sering merasa tertekan. Bahkan, sempat terlintas di benaknya untuk meninggalkan rumah.
Oscar juga sempat merasa, Reggy malu mengakui dirinya sebagai anak. Di sisi lain, Reggy pun berdiri di posisi sulit. Kakak-kakak Reggy mulai ikut resah melihat kelemahlembutan putra sulungnya itu, bahkan mereka meminta Reggy untuk memberikan suntik hormon pada Oscar. “Saya ingin bertindak adil dengan menanyakan langsung apakah Oscar setuju dengan cara itu,” kata Reggy.
Namun, ternyata reaksi Oscar sangat mengagetkan. “Dia tersinggung dan tampak terhina sekali. Saya sampai menyesal mengutarakan hal itu. Oscar memang sangat sensitif. Saya bicara keras sedikit saja, bisa membuatnya diam-diam menangis. Sejak saat itu, saya memilih diam,” kata Reggy. Tetap tidak mau menyerah, ia lantas mencari berbagai informasi tentang keadaan Oscar, baik kepada teman-teman dekatnya, psikolog, maupun dokter.
Menjelang lulus SMA, Oscar ‘bermimpi’ bersekolah seni di Amerika. Menyadari dana terbatas, Oscar memutuskan mempelajari seni di Institut Teknologi Bandung (ITB). Sayangnya, ia gagal pada tes kedua.
Namun, kegagalan itu tak membuatnya patah arang. Oscar mencari sekolah ke sana kemari, sampai pilihannya jatuh pada Esmod, sekolah mode franchise dari Prancis. Reggy pun berjuang keras untuk bisa membayar uang sekolah dalam dolar Amerika. “Belum lagi alat-alat tulisnya, yang semuanya khusus dan mahal sekali. Karena tak punya uang, saya minta Oscar pinjam saja,” kata Reggy.
Oscar tak malu, meskipun harus meminjam. “Saya mengatakan apa adanya, saya belum mampu membeli. Kalau ditolak, saya pinjam teman yang lain,” lanjut Oscar, yang kerap datang kuliah jauh lebih pagi, untuk menunggu teman yang mau meminjamkan alat-alat tulis, lalu mengerjakan tugas-tugas di kampus Esmod.
Nasib baik rupanya belum memayungi Oscar. Krisis ekonomi (1997) juga mengimbas keluarganya. Reggy sungguh tak mampu lagi membayar biaya kuliah Oscar, seiring melambungnya nilai dolar. Dengan besar hati, Oscar menerima kenyataan itu. Ia lantas mengajukan beasiswa, namun ditolak. “Saya tidak kecewa, saya hanya menganggap diri saya kurang beruntung,” kata Oscar, yang telah mampu menyerap sebagian besar ilmu fashion dari Esmod.
Berbekal pendidikan fashion yang tak selesai, Oscar membangun mimpi lain: membuka butik. Ide itu disetujui Reggy. Garasi kecil di depan rumah mereka segera diisi dua mesin jahit. Dengan bantuan seorang tukang jahit, Oscar mulai mereka-reka berbagai sketsa, sambil menunggu datangnya pesanan baju dari kenalan Reggy. Klien pertama yang dibawa Reggy adalah penyanyi Titi DJ, yang sekaligus membawa beberapa lembar bahan untuk dijahitkan baju, dengan tarif antara Rp20.000 hingga Rp40.000 per baju.
Sementara itu, ibu dan anak ini tetap saling memendam perasaan ‘tidak enak’. ‘Perang dingin’ masih berlangsung di antara mereka, terkadang menurun, terkadang memanas. Di tengah keresahan hatinya, Oscar makin memantapkan hati menjadi desainer.
MEMBUKA ’JATI DIRI’
Setelah bertahun-tahun ‘perang dingin’ dengan sang ibu, akhirnya Oscar siap mental untuk ‘terbuka’ tentang jati diri, kegundahan, dan mimpi-mimpinya.
Oscar Lawalata mengharumkan nama Indonesia sebagai runner up di ajang Asean Young Fashion Designers Contest 1999 di Singapura. Di usianya yang ke-22 tahun, dunia fashion Indonesia akhirnya mengakui namanya sebagai perancang berbakat. Namun, di saat yang sama, dunia gemerlap membukakan pintu lebar-lebar untuk Oscar, dan membuatnya sempat terlena. Selain itu, di saat butiknya menjadi mesin uang yang berputar dengan cepat, Oscar justru berniat menutup bisnisnya. Ada apa gerangan?
“TERIMALAH SAYA APA ADANYA”
Bermodalkan dua mesin jahit, satu tenaga pemotong, dan satu tukang jahit, Oscar berusaha membuat butiknya terus berproduksi. Orang-orang yang datang menjahitkan baju kepadanya adalah teman-teman ibunya dan teman-teman Oscar sendiri. “Teman-teman saya sering kali membeli baju yang mahal, tapi tak istimewa dan banyak dipakai orang lain. Saya menawarkan harga yang sama, tapi memiliki nilai eksklusif,” katanya, lembut.
Sementara itu, kegundahan hati Reggy menyangkut penampilan dan pembawaan putra sulungnya yang kelewat halus, juga terus berlanjut. Sampai akhirnya Reggy mengerahkan segenap keberanian untuk mengajak Oscar duduk bersama. Dalam pertemuan empat mata itu, secara terbuka Reggy bertanya, apa yang sebenarnya Oscar inginkan, menjadi pria atau wanita? Oscar yang sudah lelah menghadapi tuntutan sang ibu, rupanya telah menyiapkan mental, dan memutuskan untuk mengungkapkan isi hatinya.
Saat itu, dengan deraian air mata, Oscar berterus terang, “Mama, terima kasih sudah membesarkan saya dengan susah payah. Semua ini bukan salah Mama atau keadaan. Saya dan Mario dibesarkan dalam rumah yang sama, diberi makanan yang sama, pendidikan yang sama, tetapi kenapa hanya saya yang begini? Saya sendiri tidak tahu apa yang terjadi pada diri saya. Saya capek dipandang negatif oleh banyak orang. Tapi, memang beginilah keadaan yang mesti saya terima.”
Mendengar pengakuan anaknya yang sudah sekian lama menderita, Reggy pun tak sanggup menahan air mata. “Saat itulah hati saya tersentuh. Batu besar di dalam hati saya seolah terangkat begitu saja. Tiba-tiba, saya ikut merasakan penderitaan Oscar. Saya bertekad untuk menerima Oscar apa adanya. Saya tak akan lagi mempermasalahkan kekemayuan Oscar, kehalusannya, bahkan pilihan hidupnya. Oscar membutuhkan dukungan saya,” kata Reggy, sepenuh hati.
Seusai pembicaraan, keduanya terus bertangisan. Leleh sudah benteng es yang selama ini membatasi mereka. Perdamaian ibu dan anak di hari itu, menjadi awal mula teamwork yang solid. “Saya sudah berada di tengah hidup, saya akan menjalaninya sesuai pilihan saya sendiri dan mau bertanggung jawab atas pilihan itu,” kata Oscar, menegaskan.
Dengan ketulusan seorang ibu, Reggy pun membantu Oscar mewujudkan mimpinya untuk membuka butik di wilayah yang lebih representatif. Bermodalkan dana Rp50 juta (sebagian adalah dana yang tersisa dari uang sekolah Oscar di Esmod, sebagian lagi dikuras dari seluruh tabungan Reggy), Oscar mewujudkan impiannya memiliki butik Ne’Tes di kawasan Blok S, tepatnya di Jalan Laksana, Jakarta Selatan. “Butik itu sangat kecil, hanya sekitar 7 x 8 meter. Tapi, cuma itulah tempat termurah di daerah itu,” kenang Reggy.
Di butik mungil itulah Oscar menggandeng salah satu rekannya sebagai partner bisnis. Oscar yang merancang busana, partnernya mengurus perlengkapan interior. Oscar makin rajin memasarkan hasil karyanya, berupa berbagai pakaian casual dan streetwear untuk pria dan wanita. Selain itu, ia juga merancang tas-tas bulu, yang segera digemari orang. “Pemesannya sampai harus antre,” ucap pria yang namanya diambil dari piala Academy Award, yang penyelenggaraannya bersamaan dengan hari kelahirannya.
Di saat yang sama, ia juga mulai menggelar fashion show kecil-kecilan di berbagai kafe., sehingga namanya makin terkenal. “Saya juga diuntungkan dengan perubahan lifestyle saat itu, orang-orang mulai bisa menikmati karya-karya desainer yang digelar di ber bagai cafe,” ungkap Oscar yang pernah bercita-cita menjadi petani ini.
Untuk mendanai salah satu pergelarannya, Oscar pernah meminta sponsor dari Esmod, tetapi ditolak dengan alasan ia bukan lulusan Esmod. “Sejak itulah saya enggan nama saya dikait-kaitkan dengan Esmod lagi. Saya memang bukan lulusan Esmod, hanya pernah belajar di sana. Saya lebih suka disebut sebagai desainer otodidak,” ucap Oscar, datar.
Bersama berjalannya waktu, partnership antara Oscar dan rekannya, terpaksa menemui titik akhir, karena ada masalah dalam pembukuan dan timbulnya beberapa ketidaksesuaian. Tetapi, didampingi Reggy, Oscar terus berkreasi dan memiliki banyak klien.
Namanya pun makin sering dibicarakan dari mulut ke mulut, sehingga ia lantas ditawari masuk IPMI (Ikatan Perancang Mode Indonesia). “Tentu saja saya merasa bangga. Di IPMI, saya bisa belajar berorganisasi, mempersiapkan peragaan busana besar, dan memperluas networking,” kata Oscar, yang menjadi anggota IPMI yang termuda saat itu. Tak lama kemudian, Oscar terpilih mewakili IPMI membawakan rancangannya di ajang Asean Young Fashion Designers Contest 1999 di Singapura.
GO INTERNATIONAL DENGAN BAJU BODO
Oscar yang selalu bangga pada kekayaan budaya Indonesia, memilih baju Bodo, asal Makassar, sebagai dasar ide rancang-annya yang akan dilombakan. Di matanya, baju bodo yang sederhana dan praktis itu memperlihatkan keseimbangan antara budaya dan teknologi.
Selama 2 bulan Oscar membuat rancangannya yang anggun sekaligus tegas, berbahan dasar sutra Ujung Pandang. Kerja kerasnya tidak sia-sia. Baju bodo kreasinya berhasil membuat namanya keluar sebagai runner up. Tepuk tangan membahana di Singapura untuk Oscar, berlanjut di Indonesia. Berbagai media menulis namanya sebagai perancang dengan masa depan cemerlang. Dunia fashion Indonesia menyambutnya dengan hangat
Seusai kemenangan itu, Oscar segera menerima banyak permintaan, mulai dari merancang baju bintang-bintang Lux, hingga mendandani para penyanyi terkenal untuk videoklip mereka. Dalam waktu singkat, di tahun 2001, Oscar meluncurkan tiga label sekaligus: Oscar Lawalata (yang kental ciri etnik), OscarOscar (busana ready to wear, yang ditujukan untuk kaum muda), dan OscarOscar Couture yang eksklusif dan 80 pengerjaan produknya diselesaikan dengan tangan.
Pergelaran demi pergelaran (kini mencapai ratusan) memperkuat namanya sebagai perancang terkenal. Ada yang menyebutnya sebagai perancang jenius, perancang yang kreativitasnya tidak pernah habis, ada juga yang memujinya sebagai perancang dengan kreativitas berani, serta perancang yang memiliki nilai seni yang amat unik. Namun tak sedikit kritik ditujukan padanya, misalnya perancang yang mendompleng nama beken ibunya. Oscar menanggapinya sebagai angin lalu, karena sejak kecil terbiasa dengan kritik dari orang-orang di sekelilingnya.
Semua pujian itu memang terlihat dalam pergelaran terbesar yang pernah digelar Oscar di tahun 2004, bertema The Last Concubine, Dying Gracefully, khusus koleksi couture Oscar 2004-2005, di Balai Sarbini, Jakarta. Acara yang dihadiri 800-an undangan itu dimeriahkan oleh 150 penari dan peragawati. Sebanyak 80 potong busana indah yang terinspirasi dari keindahan elemen budaya negeri Cina, tampil anggun, glamor, dan modern. Selain sebagai perancang, Oscar juga bertindak sebagai konseptor dan sutradara pergelaran ini.
MENANTI CINTA SEJATI
Namanya sebagai desainer makin berkibar. Meski sempat terjebak di dunia gemerlap kalangan fashionista ibu kota dan dijuluki ‘Ratu Pesta’, kehidupan pribadinya tetap saja sepi dari cinta.
Sepeninggal ibunya yang pindah ke Australia mengikuti suaminya, Oscar mengaku butuh lima tahun untuk merapikan bisnisnya. “Sistem perusahaan yang saya bangun masih lemah,” katanya, serius. Karena itu, sembari menciptakan rancangan-rancangan busana, ia juga merancang manajemen baru dan menyusun sistem sendiri untuk menguatkan bisnisnya. Meski mengaku tak terlalu suka mengurus bisnis, ia terus berusaha menutup celah-celah yang bisa membuatnya merugi.
BOS PENDIAM
Setelah sempat tenggelam dalam dunia gemerlap selama tiga tahun (hingga 2005), akhirnya Oscar kembali berkonsentrasi pada bisnisnya. “Meskipun menyenangkan, lama-kelamaan pesta-pesta itu membuat saya jenuh. Saya juga tak berhasil menemukan sahabat sejati di sana,” ungkap Oscar, yang segera mengejar ketinggalan, dengan mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan manajemen perusahaan, mulai dari urusan HRD, pajak, sampai perekrutan pegawai.
Saat mengelola perusahaannya, PT OSCAROSCAR, ia mengaku belajar banyak hal tentang bisnis fashion yang tak pernah dipelajarinya di sekolah. “Saya telah bertanya ke sana kemari, tetapi semuanya tak bisa diterapkan begitu saja dalam bisnis ini, karena kondisinya benar-benar berbeda,” kata Oscar, yang mengaku jatuh bangun saat membenahi manajemen dan sistem yang ingin diterap-kan di kantornya. Akhirnya, sistem dibuat berdasarkan pengalaman dan pengamatan terhadap karakter para karyawan.
“Misalnya, saya membuat sistem untuk stok barang, sehingga tak perlu tertipu lagi dengan permintaan barang yang terus-menerus. Saya juga meminta para karyawan membuat file yang rapi, sehingga bila mereka keluar, file tersebut bisa diteruskan oleh karyawan baru,” Oscar memberi contoh.
Masalah perekrutan pegawai memang menjadi salah satu kendala bisnisnya. “Sulit sekali mencari orang-orang yang mampu bekerja di bisnis fashion, karena memang nggak ada sekolahnya. Kalaupun akhirnya saya berhasil mendapatkan karyawan baru, sudah capek-capek melatih, eh, tak lama kemudian mereka keluar, karena merasa bidang fashion tidak memiliki masa depan yang menjanjikan,” kata Oscar.
Karena itu, kini ia lebih teliti saat mewawancarai calon karyawan. Ia harus jeli melihat kesungguhan mereka. Ia tak ingin para karyawannya hanya menjadikan pekerjaannya sebagai batu loncatan semata. Oscar juga melakukan pembagian kerja yang rapi agar tidak terjadi tumpang tindih. Setiap orang diberi tanggung jawab tertentu, namun diminta mengembangkan sendiri ketika berada di lapangan.
Beberapa kali femina berkunjung ke kantor Oscar, yang mempekerjakan sekitar 20 karyawan. Suasananya selalu tampak sibuk. Beberapa tamu sedang menunggu giliran bertemu Reggy. Sejak suaminya ditugaskan kembali ke Jakarta pada tahun 2007, Reggy memang kembali aktif membantu Oscar di bidang marketing.
Selain mengurus pesanan busana dari sebuah organisasi pelestari kain tradisional, Reggy juga ikut bernegosiasi dengan pihak yang ingin mengajak Oscar menampilkan karya-karyanya di Italia. Sebelumnya, Oscar telah membawa karyanya ke Taipei, Malaysia, Singapura, dan Jepang.
“Suasana kantor saya memang diusahakan hanya diisi dengan komunikasi tentang pekerjaan, mulai pukul 9 pagi sampai pukul 5 sore. Kalau mau ngobrol di luar pekerjaan, harus menunggu jam kerja selesai,” kata Oscar, yang juga tak kalah disiplin dalam menerapkan jam kerja untuk dirinya sendiri. Jadwal kerjanya bahkan sudah disusun rapi untuk seminggu ke depan.
Namun, dari keterangan asisten dan pegawainya, Oscar dikenal sebagai bos yang tak banyak bicara dan jarang sekali marah. “Jika berada di situasi yang sulit, saya memang berusaha memosisikan diri sebagai karyawan. Karena saya sadar, kreativitas saya sebagai desainer perlu didukung tim produksi dan manajemen yang solid,” kata Oscar, yang sehari-hari senang tampil dengan rambut panjang yang digelung di tengkuk.
MALAS BERTEMU KLIEN
Selain masalah internal, Oscar juga dituntut pandai menerapkan strategi untuk memenangkan berbagai peluang bisnis, terutama bisnis pesanan seragam yang jumlahnya sangat besar.
“Untuk pesanan seragam, saya harus mau merendahkan hati untuk memenuhi berbagai pesan di balik sepotong pakaian. Kreativitas saya mesti bisa berjalan seiring bisnis. Kadang-kadang kreativitas saya memang harus berhenti karena harga yang terbatas. Tetapi, bagi saya, kreativitas juga tak jarang justru muncul akibat keterbatasan,” lanjut Oscar, yang mengagumi para desainer Jepang karena karya-karya mereka yang eksperimental, unik, tetapi tidak aneh-aneh.
Lain lagi strategi yang diterapkan Oscar saat menghadapi klien yang lebih personal. Bisa dibilang, para wanita datang pada Oscar dengan membawa mimpi masing-masing. “Saya berusaha mengarahkan ke desain yang lebih cocok dengan tubuh mereka. Tapi, terkadang ada saja yang memaksa minta dibuatkan model busana yang tak sesuai dengan tubuhnya. Kalau situasinya demikian, terpaksa saya harus mengalah,” kata Oscar, yang mengagumi karya-karya Baron, Obin, dan Kiata Kwanda ini.
Baru tiga tahun belakangan ini, Oscar mengaku mampu mengalahkan rasa malasnya untuk bertemu klien. “Tapi, Mama menegaskan bahwa saya harus mau menemui klien yang berkunjung ke butik saya, karena mereka pasti senang bisa bertemu saya secara langsung. Akhirnya, saya mencoba berpikir sebagai klien. Mungkin benar juga, saya pasti senang kalau bisa bertemu desainer favorit saya,” kata Oscar, yang tetap saja tak banyak bicara saat ‘menjual’ busananya.
Bahkan, tak jarang ia tetap bicara dengan jujur kepada kliennya. Kalau tidak pantas, ya, dibilang tidak pantas. Tidak harus bilang pantas, hanya agar bajunya dibeli. Di mata Oscar, desainer di Indo-nesia ada dua tipe. “Hanya 2 yang benar-benar desainer, 8 sisanya adalah desainer yang hanya pintar membaca tren, namun pandai ‘berjualan’,” kata Oscar.
“Selain itu, desainer sungguhan harus menjaga nilai orisinal. Terinspirasi boleh saja, tetapi dia harus bisa mengubahnya menjadi sesuatu yang berbeda. Misalnya, tren rok balon. Saya hanya mengambil ide volume dan tekniknya saja untuk menghasilkan sesuatu yang baru,” ucap Oscar, yang tak pernah berhenti mempelajari seluk-beluk tekstil untuk menghasilkan karya-karya yang indah.
Ia juga sangat berhati-hati menjaga kualitas hasil karyanya. “Fashion di Indonesia kebanyakan seragam. Memang, seorang desainer harus memikirkan unsur seni sekaligus bisnis. Tapi, sebagai kreator, saya merasa wajib untuk tetap menunjukkan idealisme, bukan sekadar menjual baju seperti halnya mal. Setiap karya saya harus ada detail yang unik, tanpa mengubah bentuk dasar baju tersebut,” kata Oscar, yang merasa penting menjaga idealisme untuk mengisi hidupnya.
Belakangan, jadwalnya juga dipadati pesanan baju pengantin berikut baju-baju untuk orang tua dan para pengiringnya. Berapa, sih, harga baju-baju rancangan Oscar sekarang? Wah, ternyata sudah berlipat-lipat dibanding harga baju pesanan Titi DJ di awal karier Oscar dulu. Setidaknya, mulai dari Rp500.000 (blus ready to wear), Rp25 juta (gaun couture), dan lebih dari Rp50 juta (baju pengantin).
Butiknya di Jl. Laksana masih diteruskan masa kontraknya, meskipun kini Oscar sudah mampu memiliki butik tiga lantai di daerah Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan (kini masih dalam tahap penyelesaian), yang menurut rencana akan dipakai sekaligus sebagai rumah tinggal bersama adiknya, Mario.
Bagaimana Oscar memandang kesuksesannya yang dibangun dengan susah payah? “Sukses seorang desainer adalah jika karyanya bisa diterima dan dihargai masyarakat,” kata Oscar, yang mensyukuri keberhasilannya sebagai takdir yang baik, selain sebagai hasil kerja kerasnya bersama sang ibu.
TERBUKA UNTUK PRIA DAN WANITA
Kesuksesan karier memang telah mampu membahagiakan Oscar. Meskipun kehidupannya selalu disibukkan oleh pekerjaan yang bertumpuk, termasuk memenuhi berbagai janji dan meeting di sana-sini, ia mengaku bahagia.
Selepas jam kerja, Oscar lebih sering pulang ke rumah untuk beristirahat, dan sesekali di malam hari dilanjutkan dengan men-desain pesanan busana. “Bagi saya, berkarya harus mencicil, harus setiap hari. Tiga tahun ke depan, saya bermimpi sudah memiliki sistem yang baik, sehingga bisa punya waktu lebih banyak untuk kerja kreatif,” lanjut Oscar, yang harus ditemani musik saat sedang membuat sketsa busana.
Kalaupun ada waktu luang, ia lebih suka melewatkannya bersama Mario dan Reggy, atau bersama teman-teman dekatnya. Oscar me-ngaku belum memiliki ‘teman dekat’. Meski tak keberatan membicarakan cinta, Oscar telah memutuskan tidak akan menikah.
“Mungkin karena saya berasal dari keluarga broken home. Tapi, saya juga punya pemikiran lain yang mendasari keputusan itu. Bagi saya, menikah hanyalah membatasi kesempatan dan ruang gerak hidup. Di luar perkawinan masih banyak jenis kehidupan yang bisa diolah. Perkawinan hanya membuat dunia menjadi sempit. Namun, saya tetap menghargai orang-orang yang memilih untuk menikah,” kata Oscar, ringan.
Meski menolak pernikahan, Oscar tak akan menolak jika cinta datang menghampirinya, entah dari pria maupun wanita. “Se-muanya menjadi rahasia Tuhan,” kata pria yang menolak disebut gay, karena ia masih membuka diri untuk wanita, ini.
“Kalau seseorang menyebut dirinya gay karena ia hanya menyukai pria, maka selamanya dia akan begitu. Saya lebih suka membuka hati dan pikiran. Kalau suatu saat nanti saya bertemu dengan orang yang tepat, yang terpenting adalah saya merasa nyaman dengan dia. Dan, orang itu bisa saja pria ataupun wanita. Seks hanyalah naluri yang tak perlu dibesar-besarkan,” ucap Oscar.
Soal penampilannya yang dinilai makin feminin saja, ia juga menanggapinya dengan kalem, “Pada zaman dulu, pria juga bisa berpakaian seperti wanita.” Oscar berpendapat, setiap orang memiliki sisi maskulin dan feminin, hanya kadarnya yang berbeda.
“Kebetulan, pada diri saya, kadar femininnya lebih besar. Tetapi, saya bersyukur bisa berpikir secara pria, yang lebih logis, sigap, dan tegas. Di sisi lain, saya juga memiliki perasaan wanita yang lebih halus,” ungkap Oscar, terus terang.
Karena itu, ia mengaku tak gamang pada apa pun yang bakal terjadi di masa depan, karena masa-masa penting dalam hidupnya selama ini tak lepas dari campur tangan Tuhan. Namun, yang pasti, ia ingin mengisi sebagian hidupnya untuk orang lain.
“Terus berkarya dan membuat perusahaan saya survive adalah bagian dari cita-cita itu. Dengan berkarya, saya merasa ‘hidup’ dan otomatis menghasilkan uang. Dengan begitu, saya juga bisa memberi lapangan pekerjaan untuk banyak orang. Itulah cinta sejati saya. Bagi saya, cinta sejati tidak harus dikotak-kotakkan sebagai cinta suami-istri,” ujar penggemar Chloe, Fendi, dan Alexander McQueen ini, sambil tersenyum manis.
Mimpinya yang lain adalah mengabdikan hidupnya untuk seni. Ia ingin meluangkan waktu lebih banyak untuk melukis, hobinya sejak kecil yang belakangan ini makin sulit dilakoni karena terlalu sibuk bekerja. Kini ia juga mulai rajin mengumpulkan lukisan-lukisan lamanya.
Untuk mewujudkan mimpinya itu, ia sudah membeli sebidang tanah yang luas di Bali. “Saya dulu pernah bercita-cita menjadi petani yang hidup dengan tenang. Tanah di Bali akan saya wujudkan menjadi tempat beristirahat sekaligus pusat workshop. Yah, pokoknya saya menjalani hidup untuk seni, sambil menikmati kehijauan alam,” kata Oscar, menerawangkan mimpinya, yang mungkin tak lama lagi bakal terwujud.
sumber : www.femina.co.id