LGBT Bertarung ke Kursi Komnas HAM
Yulianus Rettoblaut, seorang waria, dan Dede Oetomo, aktivis homoseksual, mencalonkan diri menjadi Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Banyak orang tertawa, mencibir bahkan menganggapnya hiburan semata.
Mami Yuli, begitu ia biasa disapa, bakal membuktikan kalau waria juga bisa menduduki jabatan elit di lembaga negara. Begitu pula Dede, mereka bahkan sudah punya ancang-ancang untuk memperjuangkan hak-hak warga miskin dan kaum minoritas. Mampukah mereka? Reporter KBR68H, Quinawaty Pasaribu menyusun kisah perjuangan mereka.
“Keberanian muncul ketika kita berbenturan dengan kasus-kasus hukum,” kata Yulianus.
“Saya kan sebagai ketua FKWI, jadi saya punya beban ketika teman-teman yang selalu bertanya kenapa kasus ini nggak selesai? Kalau nggak selesai, orang jadi mengangap waria ini gampang banget dibunuh. Kayaknya lebih berharga nyawa ayam dari pada nyawa kita. Tapi aku bisa berbuat apa? Kalau aku nggak punya intelektual, terus apa yang bisa aku lakukan?”
Tahun 2007
Ini adalah kali kedua Yulianus Rettoblaut mencalonkan diri menjadi Komisioner Komnas HAM. Pada 2007 lalu ia gagal di tahap uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Kali ini Ketua Forum Komunikasi Waria Indonesia FKWI itu lebih yakin. Waria berusia 50 tahun ini tak sudi menyerah.
“Sebenarnya persiapan mulai sejak aku gagal dulu, makanya yang paling mendasar basic pendidikan karena nggak punya embel-embel pula. Udah waria pula, nggak punya pendidikan, apa sih yang bisa aku banggakan? Tapi ketika aku punya embel-embel di belakang, orang bisa bilang ‘ooo… transgender juga bisa sekolah.’ Dan setelah itu, orang bisa memperhitungkan kita.”
Kegiatan sosial
Yulianus Rettoblaut, atau akrab disapa Mami Yuli, lahir di Famborep, Asmat, Papua, pada 31 April 1961. Dengan bantuan Gereja Katolik Stefanus Jakarta Selatan, Sarjana Hukum dari Universitas Islam At-Tauriyah Jakarta Selatan berhasil mengajak teman-teman warianya menjauhi pekerjaan sebagai pekerja seks dan beralih ke kegiatan sosial.
Di rumahnya, ia membuka salon dan menjaring waria-waria berusia muda untuk belajar keterampilan kecantikan, salah satunya Laras.
“Nama saya Laras, kerja saya di bidang kecantikan salon, make up. Sejak aku ke Jakarta sudah kenal Mami Yuli, kira-kira 10 tahun lalu. Dia orangnya konsekuen, tanggungjawab, mendidik, merangkul, bagus deh makanya diangkat mejadi ketua FKWI. Bagus lah untuk mengayomi anak-anak di sini.”
Kompeten
Pendapat serupa disampaikan Merlyn, waria yang pernah mencalonkan diri menjadi Walikota Malang pada 2009 lalu.
“Dalam kepemimpinan beliau sudah beberapa tahun memfasilitasi teman-temen untuk melakukan kegiatan positif di masyarakat, terutama di waria Jakarta dan Indonesia. Jadi secara sosok beliau berkompeten untuk itu.”
Lewat FKWI Mami Yuli mencoba mengubah pandangan negatif terhadap waria, lewat berbagai kegiatan dan pemberdayaan. Tapi itu pun masih kurang.
“Kita kemudian bisa bikin kegiatan yang menyangkut hukum dan HAM. Itu juga masih didemo waktu di Depok, masih juga salah. Makanya aku kadang bingung, kita musti gimana, buat yang bener salah, yang salah apa lagi. Tapi aku sadar itu proses, memang nggak gampang. Kalau berhasil lewat yang susah, rasanya beda. Jadi ini proses yang dikasih Tuhan. Ini sudah dibentuk Tuhan, karena nggak segampang itu.”
Diskriminasi itulah yang menguatkan tekad Mami Yuli untuk mencalonkan diri kembali menjadi Komisioner Komnas HAM. Dukungan pun mengalir, di antaranya dari Laras.
“Saya sangat mendukung 100 persen. Alasannya, karena waria ini banyak yang dilecehkan oleh masyarakat, nggak diakui, banyak dilecehkan. Kalau Mami Yuli masuk ke Komnas HAM, jadi ada pandangan orang ke waria dan waria jadi tidak dilecehkan lagi.”
HAM
Di hari terakhir pendaftaran, Dede Oetomo, aktivis homoseksual, mengirimkan surat pendaftaran ke Komnas HAM. Dede menolak dianggap hanya mewakili kelompok gay. Ia mendaftar karena telah lama bergelut di dunia HAM.
“Biar pun memang saya dari satu segmen golongan tertentu, dalam hal ini golongan yang memperjuangkan hak seksual. Nantinya akan lebih umum, jadi kita main di dua dimensi. Satu hak sipol, politik, berbicara, dan hak ekosob. Itu termasuk hak masyarakat adat, tapi juga hak perlu diperjuangkan hak ekonomi, hak atas tanah, hak petani yang harus dihargai.”
Dede berusia hampir 60 tahun. Sejak 1998 ia mendirikan dan memimpin organisasi kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender.
Hak waria
Sementara Mami Yuli ingin memperjuangkan hak-hak waria sebagai manusia. Di antaranya adalah hak waria untuk bersekolah maupun bekerja. Hampir 90 persen waria yang ada di lima kota adalah urban.
Karena penolakan dan pengusiran, hak pendidikan mereka itu tidak terpenuhi karena penolakan itu, kata Mami Yuli.
“Kalau pekerjaan sendiri yang aku lihat, transgender itu, karena mereka ini di sektor non-formal kebanyakan di salon, kalau kerja di salon besar harus potong rambut, mereka nggak mau ada yang berdandan perempuan. Kemudian, mereka yang punya pendidikan cukup, ketika berdandan diusir dari kantor. Ketahuan mereka ada ngondek-ngondek ada gelagat waria, juga dikasih surat pemberhentian. Jadi hak-hak ini, jangan lihat karena orientasi seksual, tapi lihat SDMnya, kalau nggak mampu ya nggak usah, tapi kalau yang punya kemampuan, ngapain dipersoalkan?”
Syarat
Ketua Pansel Komnas HAM, Jimly Ashidiqie memastikan, waria memiliki peluang yang sama dengan heteroseksual, dan kelompok LGBT lainnya. Selama mereka memenuhi syarat: pendidikan minimal S1, usia di atas 35 tahun, serta berpengalaman dalam membela hak asasi manusia.
Mami Yuli dan Dede Oetomo bahkan lolos tahap pertama seleksi administrasi. Hanya saja, Jimly Ashidiqiekhawatir kalau DPR bakal menjegal aktivis waria dan gay tersebut.
“DPR biasanya suka pertimbangan politik, nah itu biasanya jadi masalah. Kasih lah logika keadilan dapat tempat, jadi tak usah cari orang titipan, kalau begitu politisi tidak berpikir sempit tapi berpikir luas untuk kepentingan bangsa. Kita perlu lembaga yang merepresentasi kepentingan marjinal untuk memperjuangkan HAM.”
Tiga puluh nama
Panitia seleksi akan memilih 30 nama untuk diboyong ke DPR. Oleh DPR akan dipilih menjadi 15 nama untuk ditetapkan menjadi Komisioner Komnas HAM. Mami Yuli dan Dede Oetomo pun tak gentar jika sosok mereka menjadi sandungan nantinya.
“Harus legowo. Kita jangan orientasi seksual, tapi kita warga negara yang punya hak,” kata Mami Yuli.
“Kalau segala sesuatu di lihat ke situ nggak ada habisnya. Kita berpatokan ke negara demokrasi, punya dasar negara, mengajarkan untuk tidak merugikan siapa pun. Jadi kenapa musti takut?”
Sementara Dede Oetomo mengatakan:
“Kalau saya dipersoalkan karena saya gay, karena saya ini terbuka kan? Itu sudah menunjukkan para anggota dewan yang terhormat itu tidak mengerti HAM. HAM itu universal berlaku untuk semua orang. Nah kalau ada anggora dewan, mudah-mudahan nggak ada. Rekam jejak saya dalam memperjuangkan HAM kurang cukup, oke saya terima. Tapi kalau identitas saya dipersoalkan itu sudah sangat menyedihkan.”
Pesan untuk Mami Yuli
Sementara itu, teman-teman waria menitipkan pesan kepada Mami Yuli agar disampaikan ke politisi Senayan jika sampai melangkah ke DPR. “Yang pertama mengangkat derajat waria biar setara dengan masyarakat, menempati jati diri waria di masyarakat kerja yang sama dengan orang lain, enggak dibeda-bedakan,” demikian Laras.
Sementara harapan Merlyn adaslah: “Beliau lebih tegas memberikan wacana buat masyarakat terutama untuk penguji kalau sampai lolos ke fit and proper test, bahwa yang diperjuangkan tidak hanya isu LGBT, boleh beliau mewakili komunitas transgender, tapi kan di Komnas Ham bukan hanya minoritas yang diperjuangkan, bukan hanya lesbian, gay, transgender, biseksual, tapi juga semua orang.
Mami Yuli sedari awal sudah menyiapkan mentalnya kalau sampai kandas di pencalonanya menjadi komisioner Komnas HAM.
“Kalau masalah bertaruh mah siap-siap aja gagal, ada menang ada kalah, kalau aku mah antusias saja. Bahwa aku jalanin aja kayak air mengalir. Sebab aku berpatokan pada pribahasa, ada batu yang segede gunung bisa bolong oleh tetesan air.”
sumber : http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/lgbt-bertarung-ke-kursi-komnas-ham