Refleksi Idaho 2013: Menyentuh Bekas Luka Kisah Sodom-Gomorah
Oleh Melinda Siahaan*
Menyentuh luka itu sakit karena jaringan di sekitarnya sangat sensitif. Namun persentuhan itu harus dilakukan, jika segera hendak diobati/disembuhkan. Bertambah perih, tentu saja, namun itu hanya di awal, selanjutnya ia akan terbiasa. Luka, di sisi lain dibiarkan menganga. Ia tidak sempat disentuh, karena tidak ada yang menyentuhnya. Sakit, bertambah parah, tentu saja, karena ia dibiarkan. Namun, diobati ataupun dibiarkan, luka tetap meninggalkan bekas. Ia bisa saja menjadi sekadar kenangan ataupun bisa menjadi trauma. Karlina Supelli menegaskan trauma bukanlah kematian itu sendiri. Ia bukan kelenyapan dari ruang karena tertelan waktu. Trauma adalah kengerian dalam proses menuju kematian. Luka menjadi penanda.
Ingatkah kisah tragis penghancuran Sodom dan Gomora? Kisah yang melukakan kaum homoseksual sebagai stigma sekaligus trauma, yang seringkali dilontarkan orang-orang yang mengaku beragama. Sejahat apakah kelakuan orang-orang Sodom dan Gomora? Jika karena perilaku homoseksual yang menjadi alasan penghancurannya, itu sama sekali tidak tercatat dalam kitab yang disebut suci itu. Kota yang dihancurkan dengan stigma ‘tidak bermoral.
Ada kisah yang coba menyentuh luka lama itu. Kisah yang tidak muncul sebagai kisah-kisah besar, namun menjadi kenangan yang perlahan memulihkan ingatan akan luka. Dalam tutur anak perempuan Lot ketika mengenang ibunya, mengisahkan perspektif lain tentang kehidupan warga Sodom dan Gomora. Ia bertutur baik sebagai orang yang sempat dikorbankan oleh Lot, ayah kandungnya sendiri, maupun sebagai anak yang hidup dalam dinamika keluarga dan lingkungan di tanah Sodom dan Gomora.
Lot adalah sosok yang tidak berminat mengenal lebih dekat orang-orang di negeri itu, dan ia menganggap mereka kafir. Ayahnya hanya sibuk mengemban tugas sebagai ‘hamba Tuhan’ dengan menjadikan moralitas sebagai perisainya. Ia seringkali lupa menjadi sosok suami dan ayah. Ibunya, perempuan yang tidak dikenal namanya itu, justru mengaplikasi peran sebagai pelayan Tuhan dalam praktik hidupnya. Ia menjalin relasi yang baik dengan warga di kota Sodom. (Eben Nuban Timo, “Anak Perempuan Lot Mengenang Ibunya” dalam Hagar dan putri-putrinya: Perempuan Tertindas dalam Alkitab, (Jakarta: Gunung Mulia, 2009).
Perempuan-perempuan di kota itu ramah. Mereka membantu kelahiran dua anak perempuan Lot. Kekeringan pernah menimpa kota itu, dan para perempuan harus berjalan beberapa kilometer untuk mengambil air. Mereka justru membawakan air untuk keluarga Lot. Ibunya sangat terkesan dengan kebaikan hati para perempuan negeri itu. Ia bersaksi bahwa penduduk kota ini bukanlah orang ‘kafir’ seperti yang dikatakan oleh ayahnya. Mereka justru memiliki kasih kepada sesama manusia.
Bencana itu pun datang ketika ayahnya menjamu dua tamu yang mengaku sebagai malaikat Tuhan, tapi sebenarnya mereka justru menghasut bahwa penduduk kota ini jahat dan berdosa. Bagi ibunya, kedua orang ini adalah nabi palsu yang menggunakan nama Tuhan, atau seperti orang jaman ini yang memakai legitimasi agama untuk kepentingan pribadi.
Kata yadha dalam kisah ini menjadi salah satu persoalan. Penerjemah mengartikannya sebagai ‘pakai’ diidentikkan dengan stigma perbuatan homoseksual. Kata Sodom, konon, diidentikkan dengan perilaku ‘sodomi’. Namun di sisi lain, kata yadha dalam teks Kejadian 19:5 tidak dimaknai sebagai keinginan untuk melakukan hubungan seks, melainkan ‘untuk mengenal’ kedua tamu Lot yang statusnya sebagai tamu sekaligus orang asing. Massa pun menjadi berang ketika Lot justru bungkam menanggapi rasa ingin tahu mereka. Kejadian di malam itu menjadi puncak yang dianggap sebagai keberdosaan Sodom dan Gomora sehingga layak untuk dimusnahkan, padahal warga hanya ingin ‘mengenal’ mereka dan menunggu keterbukaan Lot yang selama menumpang di tanah orang tidak bersikap ramah dan terbuka kepada warga Sodom dan Gomora.
Dalam kisah ini, bagi anak perempuan Lot, stigma itu dilekatkan pada dirinya sendiri yakni sebagai perempuan yang tidak berharga dibandingkan nyawa kedua ‘malaikat’ itu. Kota Sodom dan Gomora karena tuduhan kafir. Ibunya karena menjadi tiang garam padahal ia menatap ke belakang karena solidaritasnya kepada perempuan kota tersebut. Terakhir kata ‘homoseksual’ itu sendiri diberi cap/stereotipe sebagai tindakan kebejatan yang menjadi dosa Sodom dan Gomora, padahal teks itu tidak sama sekali menuliskan kata ‘homoseksual’ ini.
Stigma-stigma itu menjadi luka yang membekas. Luka sebagai penanda kisah-kisah besar yang dijadikan pembenaran akan kisah-kisah kecil yang tersingkir. Namun tutur anak Lot tidak sama seperti tutur kebanyakan orang. Tutur yang meruntuhkan fobia homoseksual. Sudah saatnya kisah lain dari memori kota Sodom dan Gomora itu dibangkitkan sebagai perspektif yang berimbang. Waktu pun membuktikan bahwa kaum homoseksual/LGBT yang ada sekarang ini juga memberi perspektif cinta kasih yang dimiliki oleh semua manusia. Selamat merayakan keruntuhan fobia terhadap kaum homoseksual.
*Mahasiswa Pasca Sarjana Teologi UKDW Yogyakarta-Dosen STT Tarutung Sumut.